Oleh:
Bambang Trim (Komporis Buku Indonesia)
23
November 2012
Tanggal
21 November 2012, di Ruang Anggrek, Indonesia Book Fair 2012 meski kalah hangat
dengan panggung utama yang menghadirkan Menteri BUMN Dahlan Iskan, tetap saja
dipenuhi para editor berjumlah 45 orang. Sore itu pukul 15.30, Seminar Profesionalitas Editor pun dimulai
dengan menghadirkan R. Masri Sareb Putra dan Bambang Trim. Di sela-sela acara
sempat diselingi informasi tentang ekosistem digital yang disampaikan Bapak
Achmad Sugiarto, Executive GM Divisi Multimedia PT Telkom.
Masri
Sareb yang dulu pernah melakoni karier sebagai manajer promosi di Grasindo
(Grup Gramedia) dan managing editor Penerbit Indeks memaparkan
pengalaman-pengalamannya sebagai editor, sekaligus juga sebagai penulis. Ia pun
mengungkapkan perbandingan karier editor di negara yang lebih maju serta juga
penghasilan para editor yang dianggap wah untuk ukuran Indonesia.
Sungguh
eksistensi editor buku di Indonesia memang sudah diakui, tetapi dari sisi
kompensasi untuk profesi ini masihlah tergolong rendah. Sebagai perbandingan,
Malaysia memberikan kompensasi sekitar 2.000 ringgit untuk para editor yang
fresh graduate. Di Filipina, editor bahkan diisi mereka yang berpendidikan
master ataupun doktor dan tentunya juga dengan penghargaan kompensasi yang
tinggi.
“Jika
sebuah buku dianggap bagus, penulislah yang paling pertama dielu-elukan. Jika
sebuah buku dianggap buruk, editorlah yang paling pertama dikeluhkan.”
Posisi
editor memang posisi yang penuh tekanan. Hasil karyanya sangat diharapkan baik
oleh penerbit, penulis, dan juga pembaca. Ia menjadi salah satu mata rantai
penting dalam alur penerbitan sebuah buku. Untuk itu, editor pun dituntut
benar-benar profesional.
Saya
sendiri memaparkan berbagai upaya editor dapat meningkatkan profesionalitasnya
yang ujungnya dapat meningkatkan posisi tawarnya bagi konstituennya, yaitu
penerbit, penulis, dan pembaca. Berikut adalah Tujuh Kiat Editor Meningkatkan
Profesionalitasnya.
1.
Editor harus memperdalam pengetahuan
kebahasaan serta meningkatkan keterampilan berbahasa tulis, terutama penggunaan
bahasa Indonesia standar (baku). Pengetahuan dan keterampilan kebahasaan adalah
kunci untuk menata bahasa tulis.
2.
Editor harus memahami jenjang
karier dan berbagai jenis editor untuk memosisikan dirinya dan merencanakan
kariernya di bidang editorial. Ada banyak pilihan, misalnya menjadi copy
editor, lalu berlanjut pada acquisition editor atau development editor hingga
posisi puncak sebagai chief editor.
3.
Editor harus mengenal ilmu desain
komunikasi visual (DKV) untuk meluaskan pengetahuan di bidang pengemasan naskah
dalam hal tata letak, desain kover, serta desain kemasan secara keseluruhan.
4.
Editor harus menguasai satu
spesialisasi agar memperkuat positioning-nya, misalnya spesialisasi buku anak,
spesialisasi buku religi Islam, spesialisasi buku sains, atau spesialisasi buku
biografi (faksi).
5.
Editor harus mahir berselancar di
dunia maya dan menguasai berbagai jejaring media sosial untuk memudahkan
pekerjaannya sembari meluaskan wawasannya. Pendeknya, editor harus akrab dengan
teknologi tinggi dan dilarang gaptek. Sesi yang diisi Bapak Sugiarto misalnya
mengenalkan soal e-book store Qbaca yang juga diposisikan sebagai ekosistem
digital Indonesia. Editor harus menangkap informasi ini dan memainkan
peranannya dalam pengembangan produk-produk penerbitan digital pada masa depan.
Dalam hubungannya ini juga editor harus sadar pasar dan mampu menjadi book
publiscist untuk buku-buku yang dieditnya.
6.
Editor perlu menghargai dirinya
sendiri dengan meningkatkan akurasi serta kecepatan editingnya hingga kemudian
dapat menentukan seberapa layak ia dibayar dengan tarif editing per kata atau
per halaman. Editor tidak perlu sungkan mencantumkan namanya di halaman
copyright (nama asli) sebagai portofolio karyanya yang patut dihargai.
7.
Editor harus mampu menulis.
Inilah sebenarnya kunci posisi tawar editor ketika mereka juga mampu menulis
buku dengan baik; mengikuti sayembara penulisan dan menjadi juara; produktif
menghasilkan berbagai tulisan. Faktanya banyak editor yang kemudian mampu
mengembangkan dirinya karena mereka mampu menulis dengan baik sehingga kemudian
mereka pun menerima benefit lain dari pekerjaannya.
Suatu
hal yang menarik dan mengemuka adalah bagaimana editor bisa kaya dari
profesinya. Memang ini sebuah tantangan karena jalan menuju kebebasan finansial
bagi seorang editor sebenarnya terbuka luas karena ia memiliki akses informasi
ke banyak sumber informasi serta memiliki jejaring yang kuat. Tinggal bagaimana
ia mau memanfaatkannya. Editor profesional dengan ide-ide brilian tentu akan
menjadi incaran para penerbit, bahkan bukan tidak mungkin kemudian diserahi
tanggung jawab sebagai direktur penerbit, seperti yang pernah terjadi pada diri
saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar