Oleh:
Agus Sopian (Mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Program Pascasarjana Kajian Wilayah Jepang Universitas Indonesia Long-term
Fellowship The Japan Foundation)
23
Desember 2013
Mulai
hari ini dan seterusnya, saya akan menyukai buah dada. Lho? Maaf, maksudnya
saya lebih suka mengatakan “buah dada”, “tetek”, ataupun “toket” daripada
mengatakan “payudara”. Ini ilmiah lho. Bagi saya kata “buah dada” lebih
manusiawi daripada “payudara”. Apa pasal?
Dalam
beberapa macam bahasa (boleh jadi sebagian besar), aurat perempuan tersebut
hanya berarti “dada” ataupun “susu”. Misalnya dalam bahasa Mandarin dan Jepang
disebut “乳房”, atau dalam
bahasa Inggris “breast”, bahasa Perancis “seins”. Secara etimologis, kata payudara
yang merujuk pada bagian tubuh wanita yang paling menarik itu terbentuk dari
dua buah kata: “payu” dan “dara”. Dalam bahasa Jawa – juga bahasa Sunda, kata
“payu” memiliki arti “laku (dijual)”, sedangkan kata “dara” merujuk pada arti
gadis, atau perempuan. Jadi dengan begitu payudara memiliki arti bahwa seorang
gadis itu yang laku atau laris adalah buah dadanya. Atau buah dadanya membuat
gadis atau perempuan menjadi laku. Boleh jadi yang dimaksud adalah menarik
perhatian. Akan tetapi, tidak ada sama sekali makna yang menyatakan menarik
perhatian di dalam kata “payu”. Kalau mau artinya menarik, ya menarik saja.
Tidak perlu episode selanjutnya yang akhirnya menggunakan kata seperti terjadi
makna jual-beli. Sebagai pemerhati bahasa, sungguh saya tidak tega menggunakan
kata tersebut. Saya bergidik ketika mengingat artinya. “Laku”. Seperti barang
yang diperjual-belikan, seperti ada transaksi di sana. Ampun!
Kata
“laku” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunya arti: 1) laris (barang
dagangannya), misalnya “laku berapa motormu dijual?”, dan 2) dapat dipakai,
misalnya “uang pecahan kertas Rp 500 yang bergambar orangutan sudah tidak laku
lagi”. Kata ini umumnya dijumpai dalam sebuah transaksi, bisa di pasar, di
toko, atau di mana saja dalam sebuah obrolan yang ada topik transaksi barang.
Nah ini yang seharusnya menjadi obyek kata “payu” (laku): barang. Entah kapan
kata tersebut mulai masuk ke dalam khasanah dan diksi bahasa Indonesia sehingga
mengenai wilayah guna pada manusia (dalam hal ini perempuan) saya tidak tahu
pasti. Yang jelas, bahasa mempunyai sifat penyempitan makna, pelebaran makna,
dan lain sebagainya bergantung pada keberterimaan masyarakat sesuai jamannya
atau sesuai situasinya.
Saya
jadi ingat dengan kolokasi (kombinasi dari kata-kata yang umum digunakan
bersama-sama) sehubungan dengan keberterimaan bahasa. Misalnya dalam situasi
medis, buah dada seorang perempuan yang terkena kanker akan mendapat kolokasi
“kanker payudara”. Masyarakat akan
merasa ‘gatal’ telinganya apabila diganti dengan kata “kanker buah dada” karena
tidak lazim digunakan. Seperti ketidaklaziman kolokasi “Hari Ibu” dengan “Hari
Bunda”, atau “Rumah Sakit” dengan “Rumah Tidak Enak Badan”.
Mengapa
kata “buah dada” tidak digunakan? Oh, beda lagi ranahnya. Apabila kita cermati
penggunaan kata “buah dada” sering dijumpai pada cerita-cerita erotis. Ada
kesan erotis tersendiri bila mendengar
atau menggunakan kata itu. Sebaliknya, kata “payudara” sering kita jumpai dalam
ranah ilmu pengetahuan dan akademis, dan topik-topik lain yang butuh penghalus
kata atau eufemisme. Akan tetapi, justru di sinilah ironisnya apabila kita
kaitkan dengan makna yang terkandung secara etimologis. Ada sesuatu yang
bertentangan antara makna yang ada dengan fungsi bahasa. Di satu pihak ingin
diperhalus katanya sehingga masuk ke ranah ilmu pengetahuan dan akademis, namun
di pihak lain ada semacam kekasaran makna, ketidakadilan, dan merendahkan.
Setidaknya satu dari ketiga nilai itulah yang bisa jadi dirasakan oleh
pemerhati kesetaraan gender.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa dunia bahasa masih dikuasai oleh kaum laki-laki.
Akan tetapi, Norman Fairclough (1995) telah mengingatkan kita dengan studi
bahasa kritisnya yang amat peduli dengan kelompok yang kalah dan terpinggirkan.
Studi bahasa kritis amat sadar dengan keberadaan konsumen yang secara tidak
sadar dan/atau bawah sadar “terjajah”, terdeterminasi, terhegemoni, dan
terdominasi oleh teks-teks dan bagiannya yang dikonsumsinya itu. (Anang
Santoso, 2012). Akan amat sangat meneduhkan apabila kita dapat menelaahnya dan
memberikan sebuah nilai yang manusiawi di setiap kata yang kita pergunakan.
Perempuan dan laki-laki jelas berbeda. Akan tetapi ada kesamaan pada keduanya:
manusia. Butuh sebuah penghormatan.
Nah,
apabila kita sadar akan kekeliruan selama ini menggunakan kata tersebut atas
dasar nilai kemanusiaan, pekerjaan rumah lainnya menanti yaitu menjadikannnya
sebagai kata yang berterima baik dalam kolokasi maupun pada penggunaan bahasa
lainnya untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Butuh waktu memang,
tapi tak apa. Sebaiknya kita coba untuk memilih kata “buah dada”, baik dalam
kata maupun pasangan kata (kolokasi). Apabila tidak, dan tetap mempertahankan
kata “payudara” seharusnya kita bersikap adil dengan mengadakan juga kata
“payujaka” yang merujuk pada kemaluan pria. Walaupun ada yang menutup mata
terhadap masalah bahwa ada juga pria yang menjadikan kelaminnya sebagai obyek
yang laku dijual, tetapi kenyataan itu ada. Bahkan hampir sama usianya dengan
pelacuran sejak ratusan abad lampau.
Sumber:
http://bahasa.kompasiana.com/2013/12/23/mengritik-payudara-621997.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar