Sabtu, 28 Desember 2013

Mengkritik Payudara



Oleh: Agus Sopian (Mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia Program Pascasarjana Kajian Wilayah Jepang Universitas Indonesia Long-term Fellowship The Japan Foundation)

23 Desember 2013

Mulai hari ini dan seterusnya, saya akan menyukai buah dada. Lho? Maaf, maksudnya saya lebih suka mengatakan “buah dada”, “tetek”, ataupun “toket” daripada mengatakan “payudara”. Ini ilmiah lho. Bagi saya kata “buah dada” lebih manusiawi daripada “payudara”. Apa pasal?

Dalam beberapa macam bahasa (boleh jadi sebagian besar), aurat perempuan tersebut hanya berarti “dada” ataupun “susu”. Misalnya dalam bahasa Mandarin dan Jepang disebut “乳房”, atau dalam bahasa Inggris “breast”, bahasa Perancis “seins”. Secara etimologis, kata payudara yang merujuk pada bagian tubuh wanita yang paling menarik itu terbentuk dari dua buah kata: “payu” dan “dara”. Dalam bahasa Jawa – juga bahasa Sunda, kata “payu” memiliki arti “laku (dijual)”, sedangkan kata “dara” merujuk pada arti gadis, atau perempuan. Jadi dengan begitu payudara memiliki arti bahwa seorang gadis itu yang laku atau laris adalah buah dadanya. Atau buah dadanya membuat gadis atau perempuan menjadi laku. Boleh jadi yang dimaksud adalah menarik perhatian. Akan tetapi, tidak ada sama sekali makna yang menyatakan menarik perhatian di dalam kata “payu”. Kalau mau artinya menarik, ya menarik saja. Tidak perlu episode selanjutnya yang akhirnya menggunakan kata seperti terjadi makna jual-beli. Sebagai pemerhati bahasa, sungguh saya tidak tega menggunakan kata tersebut. Saya bergidik ketika mengingat artinya. “Laku”. Seperti barang yang diperjual-belikan, seperti ada transaksi di sana. Ampun!


Kata “laku” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunya arti: 1) laris (barang dagangannya), misalnya “laku berapa motormu dijual?”, dan 2) dapat dipakai, misalnya “uang pecahan kertas Rp 500 yang bergambar orangutan sudah tidak laku lagi”. Kata ini umumnya dijumpai dalam sebuah transaksi, bisa di pasar, di toko, atau di mana saja dalam sebuah obrolan yang ada topik transaksi barang. Nah ini yang seharusnya menjadi obyek kata “payu” (laku): barang. Entah kapan kata tersebut mulai masuk ke dalam khasanah dan diksi bahasa Indonesia sehingga mengenai wilayah guna pada manusia (dalam hal ini perempuan) saya tidak tahu pasti. Yang jelas, bahasa mempunyai sifat penyempitan makna, pelebaran makna, dan lain sebagainya bergantung pada keberterimaan masyarakat sesuai jamannya atau sesuai situasinya.

Saya jadi ingat dengan kolokasi (kombinasi dari kata-kata yang umum digunakan bersama-sama) sehubungan dengan keberterimaan bahasa. Misalnya dalam situasi medis, buah dada seorang perempuan yang terkena kanker akan mendapat kolokasi “kanker payudara”.  Masyarakat akan merasa ‘gatal’ telinganya apabila diganti dengan kata “kanker buah dada” karena tidak lazim digunakan. Seperti ketidaklaziman kolokasi “Hari Ibu” dengan “Hari Bunda”, atau “Rumah Sakit” dengan “Rumah Tidak Enak Badan”.

Mengapa kata “buah dada” tidak digunakan? Oh, beda lagi ranahnya. Apabila kita cermati penggunaan kata “buah dada” sering dijumpai pada cerita-cerita erotis. Ada kesan erotis tersendiri  bila mendengar atau menggunakan kata itu. Sebaliknya, kata “payudara” sering kita jumpai dalam ranah ilmu pengetahuan dan akademis, dan topik-topik lain yang butuh penghalus kata atau eufemisme. Akan tetapi, justru di sinilah ironisnya apabila kita kaitkan dengan makna yang terkandung secara etimologis. Ada sesuatu yang bertentangan antara makna yang ada dengan fungsi bahasa. Di satu pihak ingin diperhalus katanya sehingga masuk ke ranah ilmu pengetahuan dan akademis, namun di pihak lain ada semacam kekasaran makna, ketidakadilan, dan merendahkan. Setidaknya satu dari ketiga nilai itulah yang bisa jadi dirasakan oleh pemerhati kesetaraan gender.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia bahasa masih dikuasai oleh kaum laki-laki. Akan tetapi, Norman Fairclough (1995) telah mengingatkan kita dengan studi bahasa kritisnya yang amat peduli dengan kelompok yang kalah dan terpinggirkan. Studi bahasa kritis amat sadar dengan keberadaan konsumen yang secara tidak sadar dan/atau bawah sadar “terjajah”, terdeterminasi, terhegemoni, dan terdominasi oleh teks-teks dan bagiannya yang dikonsumsinya itu. (Anang Santoso, 2012). Akan amat sangat meneduhkan apabila kita dapat menelaahnya dan memberikan sebuah nilai yang manusiawi di setiap kata yang kita pergunakan. Perempuan dan laki-laki jelas berbeda. Akan tetapi ada kesamaan pada keduanya: manusia. Butuh sebuah penghormatan.

Nah, apabila kita sadar akan kekeliruan selama ini menggunakan kata tersebut atas dasar nilai kemanusiaan, pekerjaan rumah lainnya menanti yaitu menjadikannnya sebagai kata yang berterima baik dalam kolokasi maupun pada penggunaan bahasa lainnya untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Butuh waktu memang, tapi tak apa. Sebaiknya kita coba untuk memilih kata “buah dada”, baik dalam kata maupun pasangan kata (kolokasi). Apabila tidak, dan tetap mempertahankan kata “payudara” seharusnya kita bersikap adil dengan mengadakan juga kata “payujaka” yang merujuk pada kemaluan pria. Walaupun ada yang menutup mata terhadap masalah bahwa ada juga pria yang menjadikan kelaminnya sebagai obyek yang laku dijual, tetapi kenyataan itu ada. Bahkan hampir sama usianya dengan pelacuran sejak ratusan abad lampau.

Sumber: http://bahasa.kompasiana.com/2013/12/23/mengritik-payudara-621997.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar