Oleh:
Bambang Trim
12
Juli 2013
Untuk
kesekian kalinya dunia pendidikan kita didera buku bermasalah, terutama terkait
muatan (konten) buku tersebut. Beberapa waktu lalu terjadi di Jawa Barat ketika
sebuah buku berbahasa Sunda berjudul Ngeunah Keneh Inem dianggap mengandung
konten pornografi dan tidak tepat pembaca sasaran. Sang penulis berkilah bahwa
buku tersebut bukan ditujukan untuk siswa, melainkan untuk para guru. Alhasil,
buku yang telah dinyatakan lolos sebagai buku muatan lokal yang layak digunakan
oleh para siswa dengan SK Gubernur Jabar itu mencuatkan pertanyaan tentang
mekanisme penilaian buku itu sendiri.
Selanjutnya,
yang terbaru adalah kasus buku pelajaran berjudul Aku Senang Belajar Bahasa
Indonesia, untuk SD MI kelas 6 terbitan Graphia Buana. Nama penulis jelas
tercantum, termasuk nama editornya. Buku ini memuat sebuah cerpen yang
mengandung konten dewasa pada halaman 57-60 dari cerita “Anak Gembala dan Induk
Serigala”. Tampaknya kisah di dalamnya hasil copypaste dari cerpen dewasa karya
orang lain yang tidak berhubungan dengan judul. Entah ini disengaja atau
keteledoran semata. Sumber: http://metro.news.viva.co.id/news
Belajar
dari banyak kasus serupa seperti kasus istilah “istri simpanan” dalam buku
mulok untuk DKI Jakarta yang termuat dalam cerita Bang Maman dari Kalipasir
terdapat pengabaian faktor kesopanan atau asas kepatutan dalam penggarapan
sebuah buku pendidikan (edukasi) untuk pembaca sasaran tertentu. Pelanggaran
ini dapat terjadi karena keteledoran beberapa pihak yang terlibat dalam sebuah
proses penerbitan buku: penulis, editor, penataletak/desainer, dan juga
termasuk penilai buku. Pelanggaran utama adalah pengabaian terhadap ketepatan
sebuah muatan/konten terhadap pembaca sasaran yang dituju.
Pembaca
sasaran adalah istilah yang kerap digunakan kalangan penulisan-penerbitan untuk
menyebut calon pembaca yang dituju dari sebuah buku. Pembaca sasaran dapat
dibedakan paling umum adalah dari tingkat usia, kemudian ada juga yang
dibedakan dari tingkat pendidikan atau latar belakang pendidikan, latar
belakang sosial-budaya, dan juga dari sisi gender. Adalah sebuah kelaziman jika
naskah yang diajukan penulis ke penerbit sudah menetapkan pembaca sasaran yang
dituju secara spesifik.
Karena
itu, mengapa dapat terjadi sebuah buku yang seharusnya ditujukan untuk pembaca
dewasa malah dinilaikan untuk pembaca yang masuk dalam kategori anak-anak atau
remaja? Di sisi lain mengapa masih ada penulis dan editor yang tidak peka
terhadap muatan/konten sebuah buku sehingga mereka memilih materi-materi yang
tidak tepat untuk pembaca sasaran tertentu? Lagi-lagi hal ini dapat dikaitkan
dengan profesionalitas penanganan sebuah buku karena penerbitan buku termasuk
industri kreatif yang melibatkan beberapa profesi dengan tugas yang saling
mengait antara satu dan lainnya.
Beberapa
Kasus Sebagai Cermin
Sejak
setahun lalu, rentetan kasus buku edukasi bermasalah patut menjadi cerminan
kita. Beberapa kasus yang sempat mencuat dengan indikasi kesalahannya seperti
berikut ini.
1.
Kasus pemuatan kisah Bang Maman dari Kalipasir dalam buku edukasi untuk SD
adalah ketidakcermatan pemilihan kata (diksi) “istri simpanan” hingga melanggar
kesopanan norma dan ketidaktepatan disajikan kepada pembaca sasaran siswa SD.
2.
Kasus pemuatan soal dengan kunci jawaban yang mengarahkan pada jawaban ideologi
komunis dalam buku LKS adalah ketidakcermatan menyajikan pilihan jawaban dan
verifikasi silang kunci jawaban sehingga melanggar kesopanan yang membahayakan
ideologi negara.
3.
Kasus pemilihan gambar dengan menampilkan gambar artis porno asal Jepang
meskipun dalam konteks berpakaian sopan dalam buku LKS bahasa Inggris adalah
ketidakcermatan pemilihan gambar yang kerap dilakukan penulis, editor, atau
layouter dengan mengambil sumber internet secara sembarangan sehingga kasus ini
pun berkembang melanggar kesopanan hingga ditengarai mengandung unsur
pornografi.
4.
Kasus buku pengayaan fiksi bermuatan konten dewasa disebabkan salah peruntukan
dalam proyek pengadaan buku dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditujukan
untuk siswa SMP, padahal lebih tepat kepada siswa SMA.
5.
Kasus buku pengayaan bermuatan religi Islam yang memuat ilustrasi Nabi Muhammad
saw merupakan ketidakcermatan penanganan oleh editor maupun ilustrator terkait
norma penyajian buku-buku bermuatan religi Islam yang melarang penggambaran
sosok Nabi Muhammad saw.
6.
Kasus buku belajar membaca untuk SD yang mengandung pilihan kata “waria” pada
contoh kata-kata yang dimulai dengan huruf /w/ adalah ketidakcermatan dalam
pemilihan kata (meskipun kata waria sendiri adalah akronim) yang dihubungkan
dengan pembaca sasaran sehingga berkembang melanggar kesopanan dalam konteks
kepatutan sesuai dengan norma di dalam masyarakat.
Profesionalitas
menjadi kata kunci untuk menyikapi persoalan ini, apalagi menyangkut buku
edukasi. Boleh jadi dalam kasus seperti pencantuman foto bintang porno asal
Jepang ataupun pencantuman kata waria dalam buku belajar membaca ada indikasi
faktor kesengajaan dari keisengan pihak-pihak yang terlibat dalam penggarapan
buku. Namun, tentu ini kesengajaan yang tidak lucu dan fatal bagi sebuah
eksistensi penerbit dan juga dunia pendidikan. Kita tentu masih ingat kasus
buku rapor di Jawa Barat yang di dalamnya tercantum pilihan status “anak
haram”; terindikasi keisengan dari layouter yang kemudian lupa menghapus dan
akhirnya tercetak massal.
Pertanggungjawaban
Profesional
Hal
yang perlu disoroti adalah pertanggungjawaban profesional dalam penggarapan
sebuah buku karena penulis buku adalah sebuah profesi mulia, begitupun editor
buku, layouter/desainer buku, ilustrator, dan penerbit. Kesemuanya berusaha
untuk menyajikan bahan bacaan yang sehat sekaligus mencerdaskan untuk anak
bangsa.
Tidak
boleh ada materi buku yang error dari segi bahasa karena bahasa menunjukkan
bangsa sehingga soal tata bahasa menjadi perhatian utama para editor. Sebuah
buku pun tidak boleh mengandung kekeliruan dari sisi fakta dan data (Ingat,
dulu ada kasus buku pelajaran yang menyatakan Gedung Sate berada di Kabupaten
Bandung). Hal yang paling penting juga bahwa sebuah buku tidak boleh mengandung
materi yang membahayakan dari sisi ideologi, budaya, religi, dan karakter mulia
bangsa Indonesia, apalagi buku-buku itu berlabel buku edukasi.
Lalu,
bagaimana tanggung jawab profesional penggarapan buku itu dapat tercirikan?
Berikut beberapa upaya kecil yang bermanfaat.
Dari
sisi penulis adalah sebuah kelaziman dalam prakata buku disebutkan untuk siapa
buku itu ditulis atau disusun. Gambaran pembaca sasaran yang tepat menunjukkan
profesionalitas penulis terhadap bahan yang ditulisnya, apalagi dalam konteks
pendidikan. Misalnya, untuk buku SD dari sisi usia dapat dibedakan siswa SD
kelas rendah (7-9 tahun) dan siswa SD kelas tinggi (10-12 tahun), muatan yang
disajikan untuk kedua segmen pembaca sasaran ini akan berbeda dari sisi
kedalaman atau kompleksitas konten, bahasa dan pilihan kata, serta termasuk
juga pilihan contoh-contoh pengayaan seperti cerita. Konten cerita seperti
Sangkuriang walaupun merupakan foklor (cerita rakyat) tidaklah tepat untuk
disajikan kepada anak-anak SD karena mengandung konten dewasa.
Masalahnya,
kebiasaan menyebutkan siapa pembaca sasaran sebuah buku, terutama terkait usia
tampaknya masih jarang dilakukan penulis maupun penerbit. Para penilai buku pun
dapat kehilangan orientasi terhadap sebuah buku karena dapat “mengecoh” mereka
dari segi tampilannya seolah-olah untuk anak-anak atau remaja.
Dari
sisi editor juga harus tanggap terhadap editing naskah secara total, tidak pada
satu sisi saja misalnya hanya memperhatikan penerapan EYD. Ada tujuh fokus
editing pada sebuah naskah, yaitu 1) keterbacaan /kejelasan, 2) ketaatasasan
(konsistensi), 3) tata bahasa, 4) gaya bahasa, 5) ketelitian data dan fakta, 6)
legalitas dan kesopanan, serta 7) rincian produksi.
Editor
terutama harus berkonsentrasi dalam hal legalitas yaitu bersihnya naskah dari
unsur-unsur plagiat atau pelanggaran hak cipta orang lain serta bersihnya
naskah dari unsur pornografi, fitnah, pencemaran nama baik, pelanggaran SARA,
dan masuknya ideologi yang membahayakan stabilitas negara. Kasus buku-buku
edukasi yang bermasalah umumnya berada pada area pelanggaran kesopanan atau
asas kepatutan terkait dengan pembaca sasaran.
Editor
akan menjadi “palang pintu” terakhir bagi penulis dan penerbit. Editor dapat
mengusulkan hal yang dapat memudahkan banyak pihak, termasuk calon pembaca
yaitu mencantumkan kategori usia pembaca sasaran di halaman belakang buku
seperti yang lazim juga dilakukan para penerbit buku edukasi luar negeri.
Dengan demikian, ada pertanggungjawaban profesional bahwa buku edukasi tersebut
memang cocok dan tepat untuk anak atau remaja usia tertentu.
Dari
sisi penerbit tentulah penting melakukan pembinaan terus-menerus kepada
stakeholders utamanya yaitu para penulis dan juga editor. Penerbit jangan pelit
untuk mengirimkan para penulis dan editor mengikuti pelatihan-pelatihan teknis
di bidang penulisan, editing, dan penerbitan buku karena teknologi serta
informasi terus berkembang sedemikian rupa. Hal utama bagi para penerbit juga
adalah memahami secara utuh proses kreatif sebuah penerbitan buku yang
melibatkan banyak profesi. Ada faktor-faktor yang patut diperhatikan dalam
penanganan sebuah buku secara profesional, seperti faktor kelelahan/kejenuhan
editor dan layouter, faktor munculnya keisengan editor dan layouter (kadang
menjadi sangat membahayakan seperti pemilihan foto, memasukkan satu kata yang
tidak sopan, dan sebagainya.), faktor wawasan editor dan layouter, serta
kemampuan teknis editing dan tata letak yang mereka kuasai.
Dari
sisi penilai buku tentu memang harus mengedepankan profesionalitas penilaian
dengan benar-benar membaca keseluruhan isi buku, meneliti daftar isi, dan
menaruh perhatian terhadap judul-judul materi yang tampaknya kurang tepat untuk
pembaca sasaran buku. Adanya syarat melengkapi buku dengan anatomi buku standar
seperti halaman pendahulu (prelims) dengan mencantumkan “pengantar penerbit”
dan “prakata”, serta menyebutkan di dalamnya kategori pembaca sasaran akan
menjadi satu bentuk pertanggungjawaban profesional penerbit dan penulis
terhadap jaminan konten buku tepat dan aman untuk pembaca sasaran usia
tertentu. Jadi, tidak akan ada lagi kilah bahwa buku tersebut memang tidak
ditujukan untuk siswa SD atau siswa SMP, sedangkan di sisi lain buku itu justru
turut dinilaikan sebagai buku pengayaan siswa kategori tertentu.
***
Bukunya
(baca: konten) mungkin tidaklah salah, yang salah adalah peruntukan pembaca
sasarannya. Namun, dapat terjadi juga materi/konten bukunya memang benar-benar
tidak tepat atau salah untuk pembaca sasaran tertentu. Di sinilah
profesionalitas penulisan, penerbitan, dan pengedaran sebuah buku, apalagi buku
edukasi sangat dipertaruhkan karena menyangkut masa depan anak bangsa.
Pemerintah
sempat memberikan respons terhadap hal ini yang ujungnya menyalahkan penerbit
swasta atau mungkin juga Ikapi sebagai asosiasi penerbit. Namun, perlu
dijernihkan bahwa dalam kasus terakhir, penerbit tersebut bukanlah anggota
Ikapi yang automatis tidak dalam pembinaan Ikapi. Ini adalah persoalan profesionalitas
penanganan industri buku yang tidak lantas dapat direspons bahwa sebaiknya
pemerintah yang menyiapkan buku sendiri untuk buku pelajaran, terutama pada
momentum Kurikulum 2013. Apakah pemerintah juga bisa menjamin profesionalitas
menangani sebuah penerbitan buku sementara pemerintah tidak memiliki pengalaman
soal itu?
Tentu
masih ada penerbit yang profesional dan kasus ini menyebabkan para penerbit
profesional juga terkena getahnya. Soal profesionalitas inilah yang semestinya
diatur negara. RUU Perbukuan yang sudah mengendon di DPR tidak kunjung
diselesaikan. Lalu, DPR pun “naik darah” dan mengancam Kemdikbud. Padahal, di
dalam draf RUU Perbukuan itu jelas diatur siapa yang disebut penerbit dan tentu
akan ada konsekuensinya jika penerbit dan pemangku kepentingan melakukan
pelanggaran. Jika memang tidak ada undang-undang yang mengatur, semua orang
berhak membuat penerbit dan mengedarkan buku.
Pemerintah
tidak akan mampu bekerja sendiri menerbitkan buku untuk jutaan siswa di
Indonesia ini; tetap ada celah yang dapat dimasuki penerbit swasta. Apakah kita
tetap melakukan pembiaran terhadap industri buku ini tanpa terkendali?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar