Senin, 30 Desember 2013

Kasus Saru Berulang pada Buku Pelajaran



Oleh: Bambang Trim

12 Juli 2013

Untuk kesekian kalinya dunia pendidikan kita didera buku bermasalah, terutama terkait muatan (konten) buku tersebut. Beberapa waktu lalu terjadi di Jawa Barat ketika sebuah buku berbahasa Sunda berjudul Ngeunah Keneh Inem dianggap mengandung konten pornografi dan tidak tepat pembaca sasaran. Sang penulis berkilah bahwa buku tersebut bukan ditujukan untuk siswa, melainkan untuk para guru. Alhasil, buku yang telah dinyatakan lolos sebagai buku muatan lokal yang layak digunakan oleh para siswa dengan SK Gubernur Jabar itu mencuatkan pertanyaan tentang mekanisme penilaian buku itu sendiri.

Selanjutnya, yang terbaru adalah kasus buku pelajaran berjudul Aku Senang Belajar Bahasa Indonesia, untuk SD MI kelas 6 terbitan Graphia Buana. Nama penulis jelas tercantum, termasuk nama editornya. Buku ini memuat sebuah cerpen yang mengandung konten dewasa pada halaman 57-60 dari cerita “Anak Gembala dan Induk Serigala”. Tampaknya kisah di dalamnya hasil copypaste dari cerpen dewasa karya orang lain yang tidak berhubungan dengan judul. Entah ini disengaja atau keteledoran semata. Sumber: http://metro.news.viva.co.id/news

Belajar dari banyak kasus serupa seperti kasus istilah “istri simpanan” dalam buku mulok untuk DKI Jakarta yang termuat dalam cerita Bang Maman dari Kalipasir terdapat pengabaian faktor kesopanan atau asas kepatutan dalam penggarapan sebuah buku pendidikan (edukasi) untuk pembaca sasaran tertentu. Pelanggaran ini dapat terjadi karena keteledoran beberapa pihak yang terlibat dalam sebuah proses penerbitan buku: penulis, editor, penataletak/desainer, dan juga termasuk penilai buku. Pelanggaran utama adalah pengabaian terhadap ketepatan sebuah muatan/konten terhadap pembaca sasaran yang dituju.


Pembaca sasaran adalah istilah yang kerap digunakan kalangan penulisan-penerbitan untuk menyebut calon pembaca yang dituju dari sebuah buku. Pembaca sasaran dapat dibedakan paling umum adalah dari tingkat usia, kemudian ada juga yang dibedakan dari tingkat pendidikan atau latar belakang pendidikan, latar belakang sosial-budaya, dan juga dari sisi gender. Adalah sebuah kelaziman jika naskah yang diajukan penulis ke penerbit sudah menetapkan pembaca sasaran yang dituju secara spesifik.

Karena itu, mengapa dapat terjadi sebuah buku yang seharusnya ditujukan untuk pembaca dewasa malah dinilaikan untuk pembaca yang masuk dalam kategori anak-anak atau remaja? Di sisi lain mengapa masih ada penulis dan editor yang tidak peka terhadap muatan/konten sebuah buku sehingga mereka memilih materi-materi yang tidak tepat untuk pembaca sasaran tertentu? Lagi-lagi hal ini dapat dikaitkan dengan profesionalitas penanganan sebuah buku karena penerbitan buku termasuk industri kreatif yang melibatkan beberapa profesi dengan tugas yang saling mengait antara satu dan lainnya.

Beberapa Kasus Sebagai Cermin

Sejak setahun lalu, rentetan kasus buku edukasi bermasalah patut menjadi cerminan kita. Beberapa kasus yang sempat mencuat dengan indikasi kesalahannya seperti berikut ini.

1. Kasus pemuatan kisah Bang Maman dari Kalipasir dalam buku edukasi untuk SD adalah ketidakcermatan pemilihan kata (diksi) “istri simpanan” hingga melanggar kesopanan norma dan ketidaktepatan disajikan kepada pembaca sasaran siswa SD.

2. Kasus pemuatan soal dengan kunci jawaban yang mengarahkan pada jawaban ideologi komunis dalam buku LKS adalah ketidakcermatan menyajikan pilihan jawaban dan verifikasi silang kunci jawaban sehingga melanggar kesopanan yang membahayakan ideologi negara.
3. Kasus pemilihan gambar dengan menampilkan gambar artis porno asal Jepang meskipun dalam konteks berpakaian sopan dalam buku LKS bahasa Inggris adalah ketidakcermatan pemilihan gambar yang kerap dilakukan penulis, editor, atau layouter dengan mengambil sumber internet secara sembarangan sehingga kasus ini pun berkembang melanggar kesopanan hingga ditengarai mengandung unsur pornografi.

4. Kasus buku pengayaan fiksi bermuatan konten dewasa disebabkan salah peruntukan dalam proyek pengadaan buku dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditujukan untuk siswa SMP, padahal lebih tepat kepada siswa SMA.

5. Kasus buku pengayaan bermuatan religi Islam yang memuat ilustrasi Nabi Muhammad saw merupakan ketidakcermatan penanganan oleh editor maupun ilustrator terkait norma penyajian buku-buku bermuatan religi Islam yang melarang penggambaran sosok Nabi Muhammad saw.

6. Kasus buku belajar membaca untuk SD yang mengandung pilihan kata “waria” pada contoh kata-kata yang dimulai dengan huruf /w/ adalah ketidakcermatan dalam pemilihan kata (meskipun kata waria sendiri adalah akronim) yang dihubungkan dengan pembaca sasaran sehingga berkembang melanggar kesopanan dalam konteks kepatutan sesuai dengan norma di dalam masyarakat.

Profesionalitas menjadi kata kunci untuk menyikapi persoalan ini, apalagi menyangkut buku edukasi. Boleh jadi dalam kasus seperti pencantuman foto bintang porno asal Jepang ataupun pencantuman kata waria dalam buku belajar membaca ada indikasi faktor kesengajaan dari keisengan pihak-pihak yang terlibat dalam penggarapan buku. Namun, tentu ini kesengajaan yang tidak lucu dan fatal bagi sebuah eksistensi penerbit dan juga dunia pendidikan. Kita tentu masih ingat kasus buku rapor di Jawa Barat yang di dalamnya tercantum pilihan status “anak haram”; terindikasi keisengan dari layouter yang kemudian lupa menghapus dan akhirnya tercetak massal.

Pertanggungjawaban Profesional

Hal yang perlu disoroti adalah pertanggungjawaban profesional dalam penggarapan sebuah buku karena penulis buku adalah sebuah profesi mulia, begitupun editor buku, layouter/desainer buku, ilustrator, dan penerbit. Kesemuanya berusaha untuk menyajikan bahan bacaan yang sehat sekaligus mencerdaskan untuk anak bangsa.

Tidak boleh ada materi buku yang error dari segi bahasa karena bahasa menunjukkan bangsa sehingga soal tata bahasa menjadi perhatian utama para editor. Sebuah buku pun tidak boleh mengandung kekeliruan dari sisi fakta dan data (Ingat, dulu ada kasus buku pelajaran yang menyatakan Gedung Sate berada di Kabupaten Bandung). Hal yang paling penting juga bahwa sebuah buku tidak boleh mengandung materi yang membahayakan dari sisi ideologi, budaya, religi, dan karakter mulia bangsa Indonesia, apalagi buku-buku itu berlabel buku edukasi.

Lalu, bagaimana tanggung jawab profesional penggarapan buku itu dapat tercirikan? Berikut beberapa upaya kecil yang bermanfaat.

Dari sisi penulis adalah sebuah kelaziman dalam prakata buku disebutkan untuk siapa buku itu ditulis atau disusun. Gambaran pembaca sasaran yang tepat menunjukkan profesionalitas penulis terhadap bahan yang ditulisnya, apalagi dalam konteks pendidikan. Misalnya, untuk buku SD dari sisi usia dapat dibedakan siswa SD kelas rendah (7-9 tahun) dan siswa SD kelas tinggi (10-12 tahun), muatan yang disajikan untuk kedua segmen pembaca sasaran ini akan berbeda dari sisi kedalaman atau kompleksitas konten, bahasa dan pilihan kata, serta termasuk juga pilihan contoh-contoh pengayaan seperti cerita. Konten cerita seperti Sangkuriang walaupun merupakan foklor (cerita rakyat) tidaklah tepat untuk disajikan kepada anak-anak SD karena mengandung konten dewasa.

Masalahnya, kebiasaan menyebutkan siapa pembaca sasaran sebuah buku, terutama terkait usia tampaknya masih jarang dilakukan penulis maupun penerbit. Para penilai buku pun dapat kehilangan orientasi terhadap sebuah buku karena dapat “mengecoh” mereka dari segi tampilannya seolah-olah untuk anak-anak atau remaja.

Dari sisi editor juga harus tanggap terhadap editing naskah secara total, tidak pada satu sisi saja misalnya hanya memperhatikan penerapan EYD. Ada tujuh fokus editing pada sebuah naskah, yaitu 1) keterbacaan /kejelasan, 2) ketaatasasan (konsistensi), 3) tata bahasa, 4) gaya bahasa, 5) ketelitian data dan fakta, 6) legalitas dan kesopanan, serta 7) rincian produksi.

Editor terutama harus berkonsentrasi dalam hal legalitas yaitu bersihnya naskah dari unsur-unsur plagiat atau pelanggaran hak cipta orang lain serta bersihnya naskah dari unsur pornografi, fitnah, pencemaran nama baik, pelanggaran SARA, dan masuknya ideologi yang membahayakan stabilitas negara. Kasus buku-buku edukasi yang bermasalah umumnya berada pada area pelanggaran kesopanan atau asas kepatutan terkait dengan pembaca sasaran.

Editor akan menjadi “palang pintu” terakhir bagi penulis dan penerbit. Editor dapat mengusulkan hal yang dapat memudahkan banyak pihak, termasuk calon pembaca yaitu mencantumkan kategori usia pembaca sasaran di halaman belakang buku seperti yang lazim juga dilakukan para penerbit buku edukasi luar negeri. Dengan demikian, ada pertanggungjawaban profesional bahwa buku edukasi tersebut memang cocok dan tepat untuk anak atau remaja usia tertentu.

Dari sisi penerbit tentulah penting melakukan pembinaan terus-menerus kepada stakeholders utamanya yaitu para penulis dan juga editor. Penerbit jangan pelit untuk mengirimkan para penulis dan editor mengikuti pelatihan-pelatihan teknis di bidang penulisan, editing, dan penerbitan buku karena teknologi serta informasi terus berkembang sedemikian rupa. Hal utama bagi para penerbit juga adalah memahami secara utuh proses kreatif sebuah penerbitan buku yang melibatkan banyak profesi. Ada faktor-faktor yang patut diperhatikan dalam penanganan sebuah buku secara profesional, seperti faktor kelelahan/kejenuhan editor dan layouter, faktor munculnya keisengan editor dan layouter (kadang menjadi sangat membahayakan seperti pemilihan foto, memasukkan satu kata yang tidak sopan, dan sebagainya.), faktor wawasan editor dan layouter, serta kemampuan teknis editing dan tata letak yang mereka kuasai.

Dari sisi penilai buku tentu memang harus mengedepankan profesionalitas penilaian dengan benar-benar membaca keseluruhan isi buku, meneliti daftar isi, dan menaruh perhatian terhadap judul-judul materi yang tampaknya kurang tepat untuk pembaca sasaran buku. Adanya syarat melengkapi buku dengan anatomi buku standar seperti halaman pendahulu (prelims) dengan mencantumkan “pengantar penerbit” dan “prakata”, serta menyebutkan di dalamnya kategori pembaca sasaran akan menjadi satu bentuk pertanggungjawaban profesional penerbit dan penulis terhadap jaminan konten buku tepat dan aman untuk pembaca sasaran usia tertentu. Jadi, tidak akan ada lagi kilah bahwa buku tersebut memang tidak ditujukan untuk siswa SD atau siswa SMP, sedangkan di sisi lain buku itu justru turut dinilaikan sebagai buku pengayaan siswa kategori tertentu.

***

Bukunya (baca: konten) mungkin tidaklah salah, yang salah adalah peruntukan pembaca sasarannya. Namun, dapat terjadi juga materi/konten bukunya memang benar-benar tidak tepat atau salah untuk pembaca sasaran tertentu. Di sinilah profesionalitas penulisan, penerbitan, dan pengedaran sebuah buku, apalagi buku edukasi sangat dipertaruhkan karena menyangkut masa depan anak bangsa.

Pemerintah sempat memberikan respons terhadap hal ini yang ujungnya menyalahkan penerbit swasta atau mungkin juga Ikapi sebagai asosiasi penerbit. Namun, perlu dijernihkan bahwa dalam kasus terakhir, penerbit tersebut bukanlah anggota Ikapi yang automatis tidak dalam pembinaan Ikapi. Ini adalah persoalan profesionalitas penanganan industri buku yang tidak lantas dapat direspons bahwa sebaiknya pemerintah yang menyiapkan buku sendiri untuk buku pelajaran, terutama pada momentum Kurikulum 2013. Apakah pemerintah juga bisa menjamin profesionalitas menangani sebuah penerbitan buku sementara pemerintah tidak memiliki pengalaman soal itu?

Tentu masih ada penerbit yang profesional dan kasus ini menyebabkan para penerbit profesional juga terkena getahnya. Soal profesionalitas inilah yang semestinya diatur negara. RUU Perbukuan yang sudah mengendon di DPR tidak kunjung diselesaikan. Lalu, DPR pun “naik darah” dan mengancam Kemdikbud. Padahal, di dalam draf RUU Perbukuan itu jelas diatur siapa yang disebut penerbit dan tentu akan ada konsekuensinya jika penerbit dan pemangku kepentingan melakukan pelanggaran. Jika memang tidak ada undang-undang yang mengatur, semua orang berhak membuat penerbit dan mengedarkan buku.

Pemerintah tidak akan mampu bekerja sendiri menerbitkan buku untuk jutaan siswa di Indonesia ini; tetap ada celah yang dapat dimasuki penerbit swasta. Apakah kita tetap melakukan pembiaran terhadap industri buku ini tanpa terkendali?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar