Belum
tibakah saatnya bagi orang-orang beriman, untuk khusyu' hati mengingat Allah
dan kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang telah diturunkan al Kitab kepadanya, kemudian (mereka
mengabaikannya) dalam masa yang panjang, lalu hati mereka menjadi keras, dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasiq. (Al-Hadid: 16).
Ayat yang
menggunakan gaya bahasa pertanyaan retoris ini pasti menggetarkan hati orang
beriman. Tidak heran kalau ayat pendek ini telah mengubah jalan hidup seorang
Al-Fudhail bin Iyadh. Ketika telah berada di atas rumah besar yang akan
dirampoknya, dari dalam rumah dia mendengar bacaan Al-Qur'an yang secara
kebetulan adalah ayat 16 surat al-Hadid di atas, Mendengar ayat itu hatinya
bergetar dan seluruh persendiannya serasa lumpuh. Serta merta dia berucap
"Benar ya Rabb, telah tiba saatnya hatiku tunduk khusyu' mengingat-Mu,
sudah terlalu lama aku melupakan-Mu, maka mulai hari ini aku tidak akan melakukan
apapun yang tidak Engkau sukai". Hari itu menjadi titik balik kehidupan
Ibnu Iyadh dari gembong perampok menjadi alim sufi yang 'arif billah.
Latar
belakang turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan perubahan kehidupan para
sahabat Rasulullah SAW, terutama kaum muhajirin di Madinah. Kaum Muhajirin asli
Mekkah yang pada dasarnya ahli bisnis, belum lama tinggal di Madinah sudah
berhasil membangun ekonomi mereka melebihi penduduk Madinah yang habitatnya
agraris. Kemakmuran dan kekayaan menjadikan sebagian mereka mulai lupa kepada
Allah. Maka turunlah teguran Allah kepada mereka. Nabi menyebut penyakit yang
menimpa sebagian sahabatnya itu dengan wahan, yaitu penyakit hubbud dunya
(cinta dunia). Bila dibandingkan dengan keadaan umat Islam pada masa Nabi SAW,
pasti penyakit cinta dunia yang menimpa umat Islam di masa sekarang jelas lebih
parah, bahkan berlipat-lipat. Oleh karena itu, kitalah yang seharusnya lebih
memerlukan teguran dari Allah melalui ayat tersebut.
Mengenai
akibat dari penyakit wahan yang akan menimpa umat Islam di masa mendatang,
Rasulullah SAW memberikan gambaran dalam sebuah hadits sebagai berikut:
"Hampir-hampir ummat-ummat itu memperebutkan kalian (ummat Islam) dari
segenap penjuru, layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk".
Seseoran bertanya: "Apakah waktu itu jumlah kami sedikit?", beliau
menjawab, "Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian
seperti buih di sungai, Allah mencabut dari dada musuh-musuh kalian rasa takut
kepada kalian serta akan menanamkan ke dalam hati kalian al-wahn.",
Seseorang lalu berkata: "apa itu al-wahn wahai Rasulullah?", beliau
menjawab: "cinta dunia dan takut mati." (Ahmad dan Abu Dawud).
Apa yang
dialami oleh umat Islam dewasa ini tidak jauh dari apa yang digambarkan oleh
Nabi SAW. Mereka dikepung oleh umat-umat lain dari semua penjuru. Kekayaan
mereka dikuras habis, hati dan pikiran mereka dicengkeram oleh sistem
kapitalisme global yang diciptakan umat lain. Kalau umat Islam dididik oleh
agama mereka untuk mengendalikan nafsu sepanjang hidup mereka, sistem
kapitalisme global justru membuka selebar-lebarnya kanal-kanal pelampiasan
nafsu.
Nafsu,
keinginan, atau hasrat manusia memang sangat kompleks dan tidak terbatas. Tapi
ada dua hasrat yang paling dominan dalam tatanan kapitalisme-materialisme,
yaitu hasrat to be dan to have. Keinginan atau hasrat itu direkonstruksi
sedemikian rupa sehingga tampak seperti kebutuhan. Akibatnya banyak orang
menginginkan barang atau apa saja yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.
Hasrat to be
mewujud dalam hasrat untuk menjadi populer, pujaan, idola, unggulan, pamuncak,
pemegang rekor apapun meski semu, dan sejenisnya. Sedangkan hasrat to have
mewujud dalam hasrat untuk memiliki harta, pengikut, massa, umat, pendukung,
jabatan, dan sebagainya. Kombinasi kedua hasrat itu bisa dilihat, sekedar
sebagai contoh, pada sebagian politisi kita paska reformasi. Popularitas mereka
gunakan untuk memiliki jabatan, jabatan mereka gunakan untuk menumpuk materi,
dan materi mereka gunakan
untuk meraih
jabatan, begitu seterusnya.
Sementara
itu, institusi-institusi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan media yang
seharusnya menjadi pembawa dan penjaga moralitas justru sebaliknya melakukan
desktruksi moral. Kebutuhan untuk melampiaskan hasrat materi demikian kuatnya
sehingga membungkam nurani para penguasa lembaga-lembaga tersebut. Mereka
sedang merusak tapi merasa sedang membangun. Media elektronik (televisi)
misalnya, akan menjual apa saja asal memberikan laba yang besar. Edukasi dan
moralitas tidak ada dalam kamus mereka. Maka kontradiksi-kontradiksi moral
dibiarkan beroperasi di dalam dirinya. Media seperti ini akan melahirkan
figur-figur yang mengalami dis-orientasi, krisis jati diri, dan tidak
konsisten.
Sistem
kapitalisme global juga menciptakan "hipermoralitas", yang berbasis
filsafat bukan agama, dan mengambangkan semua katagori dan batas-batas moral
yang ada. Sistem kapitalisme global juga menciptakan konsumerisme yang
mengandalkan permainan image, citra, dan gaya hidup yang bersifat material.
Kalau
manusia sudah dikuasai oleh hasrat atau keinginannya, atau dalam bahasa
Al-Qur'an "menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya", maka Allah akan
mengunci mati pendengaran, penglihatan, dan hatinya (Al-Hadid 18). Akibatnya,
hati mereka menjadi keras sekeras batu, hati mereka mati, tidak peka, tidak
sensitif. Tidak tergetar hatinya ketika nama Allah disebut, ketika Al-Qur'an
dibacakan, ketika tanda-tanda ditampakkan. Pada waktu yang sama mereka akan
merasakan kegersangan spiritualitas dan kehampaan makna hidup.
Dalam
situasi demikian, banyak orang ingin kembali ke kedalaman spiritualitas.
Sebagian dari mereka mencarinya di luar agama. Mereka memburu guru-guru
spiritual atau melakukan aktivitas spiritual yang tidak terkait dengan agama,
seperti yoga dan meditasi. Namun sebagian besar justru ingin kembali kepada
agama. Mereka menelisik apa yang salah dan kurang dalam keberagamaan mereka.
Keberagamaan yang formalistik, instan, dan terlalu fiqh-oriented dirasakan
terlalu kering dan hanya menyentuh kulit keberagamaan, tidak ada kehangatan,
kesyahduan, dan tidak menyentuh kedalaman batin. Dalam bahasa Al-Qur'an
digunakan istilah "ya'budullah' ala harfin" (menyembah Allah di
pinggirin saja).
Pada titik
inilah seharusnya kita tergetar dengan pertanyaan Allah "belum tibakah
saatnya orang-orang beriman tunduk-khusyuk hati mereka mengingat
Allah.....". Kembali kepada hati, kepada kesadaran batin, spiritualitas
atau ruhaniyah. Memberikan sentuhan dan penekanan yang lebih kuat kepada
al-janib al-athifi (sisi perasaan yang paling dalam) di dalam beragama ini,
biasa disebut dengan istilah tasawuf. Keberagamaan dalam perspektif tasawuf
tidak berhenti pada ketaatan kepada Allah tapi melangkah ke ranah cinta.
Ketaatan hanyalah manifestasi dari cinta. Praktek tasawuf adalah latihan olah
jiwa, latihan manajemen potensi-potensi manusia agar tidak terjatuh ke tingkat
nafsu ammarah, tapi meningkat ke nafsu lawwamah, menuju ke puncak pencapaian
nafsu muthmainnah.
Oleh: Ahmad
Fuad Effendy
Sumber:
http://www.maiyah.net/2013/12/belum-tibakah-saatnya.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar