Sabtu, 28 Desember 2013

Belum Tibakah Saatnya?



Belum tibakah saatnya bagi orang-orang beriman, untuk khusyu' hati mengingat Allah dan kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang telah diturunkan al Kitab kepadanya, kemudian (mereka mengabaikannya) dalam masa yang panjang, lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasiq. (Al-Hadid: 16).

Ayat yang menggunakan gaya bahasa pertanyaan retoris ini pasti menggetarkan hati orang beriman. Tidak heran kalau ayat pendek ini telah mengubah jalan hidup seorang Al-Fudhail bin Iyadh. Ketika telah berada di atas rumah besar yang akan dirampoknya, dari dalam rumah dia mendengar bacaan Al-Qur'an yang secara kebetulan adalah ayat 16 surat al-Hadid di atas, Mendengar ayat itu hatinya bergetar dan seluruh persendiannya serasa lumpuh. Serta merta dia berucap "Benar ya Rabb, telah tiba saatnya hatiku tunduk khusyu' mengingat-Mu, sudah terlalu lama aku melupakan-Mu, maka mulai hari ini aku tidak akan melakukan apapun yang tidak Engkau sukai". Hari itu menjadi titik balik kehidupan Ibnu Iyadh dari gembong perampok menjadi alim sufi yang 'arif billah.

Latar belakang turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan perubahan kehidupan para sahabat Rasulullah SAW, terutama kaum muhajirin di Madinah. Kaum Muhajirin asli Mekkah yang pada dasarnya ahli bisnis, belum lama tinggal di Madinah sudah berhasil membangun ekonomi mereka melebihi penduduk Madinah yang habitatnya agraris. Kemakmuran dan kekayaan menjadikan sebagian mereka mulai lupa kepada Allah. Maka turunlah teguran Allah kepada mereka. Nabi menyebut penyakit yang menimpa sebagian sahabatnya itu dengan wahan, yaitu penyakit hubbud dunya (cinta dunia). Bila dibandingkan dengan keadaan umat Islam pada masa Nabi SAW, pasti penyakit cinta dunia yang menimpa umat Islam di masa sekarang jelas lebih parah, bahkan berlipat-lipat. Oleh karena itu, kitalah yang seharusnya lebih memerlukan teguran dari Allah melalui ayat tersebut.


Mengenai akibat dari penyakit wahan yang akan menimpa umat Islam di masa mendatang, Rasulullah SAW memberikan gambaran dalam sebuah hadits sebagai berikut: "Hampir-hampir ummat-ummat itu memperebutkan kalian (ummat Islam) dari segenap penjuru, layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk". Seseoran bertanya: "Apakah waktu itu jumlah kami sedikit?", beliau menjawab, "Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di sungai, Allah mencabut dari dada musuh-musuh kalian rasa takut kepada kalian serta akan menanamkan ke dalam hati kalian al-wahn.", Seseorang lalu berkata: "apa itu al-wahn wahai Rasulullah?", beliau menjawab: "cinta dunia dan takut mati." (Ahmad dan Abu Dawud).

Apa yang dialami oleh umat Islam dewasa ini tidak jauh dari apa yang digambarkan oleh Nabi SAW. Mereka dikepung oleh umat-umat lain dari semua penjuru. Kekayaan mereka dikuras habis, hati dan pikiran mereka dicengkeram oleh sistem kapitalisme global yang diciptakan umat lain. Kalau umat Islam dididik oleh agama mereka untuk mengendalikan nafsu sepanjang hidup mereka, sistem kapitalisme global justru membuka selebar-lebarnya kanal-kanal pelampiasan nafsu.

Nafsu, keinginan, atau hasrat manusia memang sangat kompleks dan tidak terbatas. Tapi ada dua hasrat yang paling dominan dalam tatanan kapitalisme-materialisme, yaitu hasrat to be dan to have. Keinginan atau hasrat itu direkonstruksi sedemikian rupa sehingga tampak seperti kebutuhan. Akibatnya banyak orang menginginkan barang atau apa saja yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.

Hasrat to be mewujud dalam hasrat untuk menjadi populer, pujaan, idola, unggulan, pamuncak, pemegang rekor apapun meski semu, dan sejenisnya. Sedangkan hasrat to have mewujud dalam hasrat untuk memiliki harta, pengikut, massa, umat, pendukung, jabatan, dan sebagainya. Kombinasi kedua hasrat itu bisa dilihat, sekedar sebagai contoh, pada sebagian politisi kita paska reformasi. Popularitas mereka gunakan untuk memiliki jabatan, jabatan mereka gunakan untuk menumpuk materi, dan materi mereka gunakan
untuk meraih jabatan, begitu seterusnya.

Sementara itu, institusi-institusi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan media yang seharusnya menjadi pembawa dan penjaga moralitas justru sebaliknya melakukan desktruksi moral. Kebutuhan untuk melampiaskan hasrat materi demikian kuatnya sehingga membungkam nurani para penguasa lembaga-lembaga tersebut. Mereka sedang merusak tapi merasa sedang membangun. Media elektronik (televisi) misalnya, akan menjual apa saja asal memberikan laba yang besar. Edukasi dan moralitas tidak ada dalam kamus mereka. Maka kontradiksi-kontradiksi moral dibiarkan beroperasi di dalam dirinya. Media seperti ini akan melahirkan figur-figur yang mengalami dis-orientasi, krisis jati diri, dan tidak konsisten.

Sistem kapitalisme global juga menciptakan "hipermoralitas", yang berbasis filsafat bukan agama, dan mengambangkan semua katagori dan batas-batas moral yang ada. Sistem kapitalisme global juga menciptakan konsumerisme yang mengandalkan permainan image, citra, dan gaya hidup yang bersifat material.

Kalau manusia sudah dikuasai oleh hasrat atau keinginannya, atau dalam bahasa Al-Qur'an "menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya", maka Allah akan mengunci mati pendengaran, penglihatan, dan hatinya (Al-Hadid 18). Akibatnya, hati mereka menjadi keras sekeras batu, hati mereka mati, tidak peka, tidak sensitif. Tidak tergetar hatinya ketika nama Allah disebut, ketika Al-Qur'an dibacakan, ketika tanda-tanda ditampakkan. Pada waktu yang sama mereka akan merasakan kegersangan spiritualitas dan kehampaan makna hidup.

Dalam situasi demikian, banyak orang ingin kembali ke kedalaman spiritualitas. Sebagian dari mereka mencarinya di luar agama. Mereka memburu guru-guru spiritual atau melakukan aktivitas spiritual yang tidak terkait dengan agama, seperti yoga dan meditasi. Namun sebagian besar justru ingin kembali kepada agama. Mereka menelisik apa yang salah dan kurang dalam keberagamaan mereka. Keberagamaan yang formalistik, instan, dan terlalu fiqh-oriented dirasakan terlalu kering dan hanya menyentuh kulit keberagamaan, tidak ada kehangatan, kesyahduan, dan tidak menyentuh kedalaman batin. Dalam bahasa Al-Qur'an digunakan istilah "ya'budullah' ala harfin" (menyembah Allah di pinggirin saja).

Pada titik inilah seharusnya kita tergetar dengan pertanyaan Allah "belum tibakah saatnya orang-orang beriman tunduk-khusyuk hati mereka mengingat Allah.....". Kembali kepada hati, kepada kesadaran batin, spiritualitas atau ruhaniyah. Memberikan sentuhan dan penekanan yang lebih kuat kepada al-janib al-athifi (sisi perasaan yang paling dalam) di dalam beragama ini, biasa disebut dengan istilah tasawuf. Keberagamaan dalam perspektif tasawuf tidak berhenti pada ketaatan kepada Allah tapi melangkah ke ranah cinta. Ketaatan hanyalah manifestasi dari cinta. Praktek tasawuf adalah latihan olah jiwa, latihan manajemen potensi-potensi manusia agar tidak terjatuh ke tingkat nafsu ammarah, tapi meningkat ke nafsu lawwamah, menuju ke puncak pencapaian nafsu muthmainnah.

Oleh: Ahmad Fuad Effendy

Sumber: http://www.maiyah.net/2013/12/belum-tibakah-saatnya.html?m=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar