Oleh: Gustaaf
Kusno (A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician;
a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker!)
19 Desember
2013
Sebagai dokter
yang bergelut sehari-hari di rumah sakit, istilah extra voeding sudah sangat
familiar di telinga saya. Istilah yang menyerap dari bahasa Belanda ini
bermakna makanan tambahan bagi pasien yang kurang berat badan, pasien yang
membutuhkan nutrisi tambahan misalnya pada penderita yang baru mengalami
operasi dan juga bagi pasien yang tidak mempunyai selera makan (poor appetite).
Sesuai dengan namanya extra voeding (extra = tambahan, voeding = pemberian
makanan), bentuknya adalah makanan ringan namun bergizi tinggi, misalnya susu,
yogurt, kacang hijau, kue, dan roti.
Namun terus
terang saya mendapat surprise tatkala pagi ini membaca koran tentang anggaran
kesehatan napi yang dikurangi dan tersua kata “ekstrapuding”. Kata
“ekstrapuding” ini diberi penjelasan dalam tanda kurung “makanan tambahan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh selama bulan puasa/Ramadhan”. Nampaknya dalam
setiap ranah kehidupan sehari-hari, kita selalu bersua dengan istilah Belanda.
Dan ciri khas kata serapan ini biasanya huruf “f” atau “v” bersalin rupa
menjadi “p”. Di ranah transportasi istilah verboden (dilarang masuk) menjadi
“perboden”, di ranah kesehatan verband (pembalut) menjadi “perban”, dalam ranah
busana istilah vermaken (mengubah ukuran baju) menjadi “permak”, di ranah jual
beli istilah voorschot (uang muka) menjadi “persekot”, di ranah otomotif
istilah versnelling menjadi “persneling”, di ranah industri fabriek menjadi
“pabrik” dan failliet menjadi “pailit”.
Akan tetapi
“ekstrapuding” ini terdengar sumbang di telinga saya. Apa pasal? Karena kita
juga menyerap kata “puding” dari bahasa Belanda pudding yaitu hidangan pencuci
mulut (dessert) yang dibuat dari agar-agar. Jadi mendengar kata “ekstrapuding”
otak kita akan membayangkan puding yang biasanya diberi vla (custard) yang
menggoyang lidah. Seorang teman kompasianer menceritakan pengalaman waktu
bekerja di perkebunan diberi “ekstrapuding”, tapi yang dihidangkan susu atau
bubur kacang hijau dan tak ada puding di situ.
Seorang
teman kompasianer yang lain menceritakan bahwa kata ini dikira dari bahasa
Inggris, sehingga dituliskan menjadi extrafooding. Tak pelak penulisan seperti
ini menambah ruwet situasi. Kalaupun ingin di-Inggriskan, tentu penulisannya
adalah extra feeding (meskipun kurang lazim dipakai dan biasa disebut dengan
istilah supplementary food). Saya teringat juga istilah “bluding” (perdarahan)
yang berasal dari kata Belanda bloeding, namun ditulis dengan cara Inggris
blooding. Tentu saja ini keliru, karena dalam bahasa Inggris disebut dengan
bleeding.
Kembali ke
persoalan “v” dan “f” yang diindonesiakan menjadi “p”, dalam bahasa pasar supir
yang mengisi bensin di SPBU akan mengatakan “Isi pol” yang menyerap dari kata
Belanda vol (berarti penuh) dan tukang parkir yang sedang memandu truk yang
sedang mundur akan berteriak “prei” (artinya bebas) dari kata vrij. Juga kalau
dia minta supaya rem tangan dibebaskan, maka dikatakannya “remnya dikasi prei,
pak”. Wah, akhirnya saya jadi bingung juga memberi penilaian apakah
pengindonesiaan extra voeding menjadi “ekstrapuding” dapat dibenarkan menurut
kaidah penyerapan bahasa Indonesia.
Sumber:
http://bahasa.kompasiana.com/2013/12/19/ternyata-ekstrapuding-dari-extra-voeding-toh-620859.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar