Oleh:
Bambang Trim
(Penulis
adalah praktisi perbukuan Indonesia. Pemilik usaha penerbitan dan perajin buku
Trim Komunikata serta pendiri Akademi Literasi dan Penerbitan Indonesia
(ALINEA) dan Writers Incubator (WritInc)).
16
Juli 2013
Tokoh
Azzam di sinetron PPT edisi VII tampak gundah gulana. Pasalnya, buku yang dia
terbitkan mengandung kesalahan fatal yaitu kesalahan penulisan khat Arab pada
surah al-Fatihah. Hanya salah penempatan tanda dan mengubah makna secara
drastis.
Azzam
gundah apakah harus menarik seluruh buku-bukunya di toko buku yang sudah
tersebar dan dicetak 10.000 eksemplar. Sebenarnya kegundahan tokoh Azzam ini
yang bahkan didramatisasi dengan permintaan sang ibu agar segera menarik
bukunya dan Azam masih berkilah, tampak lebay bagi saya. Ingin sekali saya
masuk ke meeting-nya Azam dan timnya, tetapi jelas tidak bisa :).
Dalam
kasus seperti ini, apalagi Quran, tidak ada kata lain keputusan yang diambil
adalah menarik seluruh buku dan memperbaiki halaman yang salah dengan cara
menghapus titik atau mencetak ulang halaman yang benar dan menyisipkannya. Kita
memang tidak hidup seperti zaman dulu yang bisa menyisipkan secarik kertas
bertuliskan ralat atau errata maka masalah akan selesai.
Jangankan
Quran, bahkan teks-teks pada buku religi pun sangat sensitif jika berubah.
Dalam kasus lain di MQS, saya pun pernah memerintahkan penarikan dan perubahan
semua buku karena pada satu halaman ada judul yang salah. Itu bukunya Kang Abik
dan pada salah satu tulisan ada judul Kalimat Pengusir Malaikat. Judul
sebenarnya adalah Kalimat Pengusir Maksiat. Semua pasti setuju bahwa berbeda
jauh makna malaikat dan maksiat dan mengapa pula malaikat harus diusir. Buku
itu kalau tidak salah sudah dicetak 5.000 eksemplar dan akhirnya dibongkar
ulang di percetakan.
Kesalahan
konten semacam ini bisa disebabkan keteledoran editor atau keteledoran layouter
dan juga terlewatnya penyelia (supervisor) untuk memeriksa hasil pekerjaan keduanya.
Editor kadang bisa tergelincir karena sibuk memperhatikan hal kecil (teks),
lupa pada hal besar yaitu judul bab sendiri. Kadang bisa terjadi sebuah kover
berbeda antara judul kover dan judul di dalamnya. Ternyata judul di dalamnya
sudah direvisi, tetapi editor lupa menginformasikannya kepada desainer kover.
***
Kita
beralih ke kasus lain….
Berita
tentang buku pelajaran berkonten porno dari Penerbit Graphia Buana jelas
menyinggung-nyinggung editornya. Tentulah yang berprofesi sebagai editor buku
juga ikut tersentil jika sesama orang yang seprofesi ada yang tergelincir.
Editor
banyak tergelincir biasanya karena kasus kelemahan dan kegagalan editing pada
poin ketelitian data dan fakta serta poin
legalitas dan kesopanan. Kita ketahui bahwa fokus editing itu ada tujuh:
1) keterbacaan dan kejelasan; 2) konsistensi; 3) tata bahasa; 4) kejelasan gaya
bahasa; 5) ketelitian data dan fakta; 6) legalitas dan kesopanan; 7) rincian
produksi. Poin nomor 5 dan 6-lah yang sensitif jika mengandung kesalahan dibandingkan
poin lain seperti bahasa atau konsistensi.
Belum
lama terjadi juga ada kasus konten tidak layak tentang Nabi Muhammad saw di
buku 5 Kota Paling Berpengaruh karya Douglas Wilson terbitan Gramedia. Gramedia
tidak mau ambil risiko dan membakar semua sisa stok dan buku yang ditarik. Buku
itu tak hendak diterbitkan ulang. Editor nya pun terkena sanksi dan konon
memang baru dua bulan menjadi editor.
Lebih
jauh ke belakang, saya juga pernah mengalami hal serupa ketika menjadi manajer
penerbitan. Salah seorang editor saya di penerbit buku pelajaran tergelincir
karena kesalahan konten data dan fakta atau lebih tepatnya salah dalam rumus
hitungan. Buku pelajaran matematika untuk SD justru mengandung kesalahan hitung
dan sangat berakibat fatal jika beredar di pasar. Alhasil, buku tersebut harus
ditarik dari pasar setelah dicetak 10.000 eksemplar dan diperbaiki ulang.
Tentulah ada hitungan kerugian untuk ini.
Mengapa
Bisa Tergelincir
Pertanyaannya
mengapa editor bisa tergelincir? Banyak faktor yang ditengarai bisa menjadi
penyebabnya. Ada faktor kelelahan juga manakala penerbit tidak memperhatikan
pekerjaan yang dibebankan kepada editor dan tenggat (deadline) yang ditetapkan.
Bukan rahasia lagi jika di sebuah penerbit buku pelajaran yang hanya memiliki
editor minim, para editor itu diberi tugas mengedit 2-3 judul buku untuk
dikerjakan secara simultan. Di satu sisi kemampuan mereka sangatlah minim untuk
melakukan 2-3 pekerjaan sekaligus.
Dari
informasi saya ketahui bahwa editor buku bermasalah dari Graphia Buana itu juga
mengedit buku PPKn, IPA, dan Matematika untuk SD. Bayangkan, super sekali
editor yang melakukan hal ini sendirian dengan berbagai objek editing yang
berbeda dari bahasa ke sosial dan dari sosial ke sains. Apakah dia memang
sempat mengedit dengan sebenar-benar mengedit?
Kedua,
bisa juga faktor nonteknis yang sepengalaman saya juga dapat ditemukan pada
editor yang bekerja. Contohnya, bentrok dengan teman sekantor, impitan ekonomi,
menyambi pekerjaan lain di luar kantor. Hal ini kadang mengganggu konsentrasi
si editor dan bisa berakibat fatal pada hasil editing. Karena itu, dalam banyak
kasus, saya memberlakukan editing silang untuk menjaga kualitas editing dan
para kabag editor (managing editor) harus melakukan lagi pemeriksaan hasil
pekerjaan editor di bawahnya.
Dalam
sebuah organisasi penerbit buku pelajaran jelas harus dipisah antara editor
buku sains, editor buku sosial, dan editor buku bahasa. Pemisahan objek editing
berdasarkan latar belakang ilmu yang mereka miliki ini juga penting untuk
meminimalkan kesalahan. Jangan samakan editor dengan guru SD yang bisa mengajar
pelajaran apa pun.
Selain
soal memahami kompetensi editor berdasarkan latar belakang ilmu masing-masing,
tentulah penerbit juga perlu memperhatikan faktor nonteknis, seperti memberikan
editor kesempatan untuk beristirahat, memperhatikan kesehatan mereka,
mengadakan suplemen makanan untuk editor yang bekerja lembur, mengadakan dialog
(personal touch) ketika melihat ada editor yang kurang berkonsentrasi, serta
juga meningkatkan kesejahteraannya.
Jangan
anggap sepele persoalan toilet atau kamar mandi di ruangan editorial. Jika
toilet cuma satu dan para editor itu harus mengantre, itu mengganggu
konsentrasi. Demikian pula jika mereka harus bekerja lembur, tetapi tidak
tersedia sarana buat mandi yang menyenangkan. Alamat editor akan makin stress
dan kuyu sepulang dari kantornya.
Kurang
Pelatihan dan Kurang Paham
Editor
itu bukan profesi sekonyong-konyong yang bisa dikerjakan seseorang asalkan
punya ijazah sarjana, apalagi S1 atau S2 dalam suatu bidang. Editing adalah
sebuah ilmu sekaligus seni bagaimana menyajikan sebuah tulisan/naskah menjadi
nyaman dibaca sekaligus aman buat pembaca sasarannya. Dalam hal ini tentulah
diperlukan pendidikan bagi seorang editor pemula di bidang publishing science
dan editologi. Hal lain bahkan editor itu pun semestinya bisa menulis buku.
Saya
melihat keremehan memandang hal ini bagi penerbit sering berbuah celaka, salah
satunya adalah kasus buku pelajaran berkonten tidak tepat yang berkali-kali
terjadi. Profesi editor sepertinya rentan mendapatkan celaan karena sebenarnya
editor tersebut belumlah layak disebut editor. Namun, para penerbit memaksakan
mereka bisa menjadi editor tanpa latar belakang wawasan editorial sedikit pun.
Ikatan
Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tahun 2013 ini mulai menggencarkan pelatihan
untuk para editor. Namun, tingkat partisipasi penerbit anggotanya masihlah
kecil untuk mau mengirimkan editornya berlatih dan mendapatkan ilmu editing
yang standar. Namun, pada setiap musyarawah kerja sering didengungkan
pentingnya pendidikan untuk para editor, tetapi giliran pendidikan dan
pelatihan itu sudah ada dan para penerbit memang harus berinvestasi untuk itu,
kebanyakan enggan melakukannya.
Tentulah
lebih mending jika di dalam suatu penerbit terdapat editor senior sehingga ia
bisa mengadakan pelatihan internal di penerbitnya untuk para editor pemula.
Namun, kebanyakan penerbit memang tidak memiliki sistem pendidikan dan
pelatihan seperti ini untuk editornya. Editor-editor yang direkrut dibiarkan
berkembang begitu saja tanpa perlu dibina.
Dahulu
di Penerbit Grafindo saya kerap mengisi forum pelatihan bernama OBSESI 2000,
singkatan dari Obrolan Sekitar Editorial dengan Visi 2000. Di sini kami membina
para editor yang baru masuk untuk memahami dunia penerbitan buku dan editing
itu sendiri. Grafindo dulu memang mengelola sumberdaya editor yang besar hingga
50 orang yang jumlahnya selalu sama dengan layouter. Satu editor dipasangkan
dengan satu layouter dan pada masa tertentu dilakukan rolling antara editor dan
layouter itu.
Kelayakan
Siapa yang Disebut Editor
Selain
mendorong segera diberlakukannya UU Perbukuan Nasional, kita juga perlu
memikirkan standar kompetensi sehingga seseorang layak disebut editor dan
bagaimana penerbit memahami profesi ini dalam pengaturan pekerjaannya. Membuat
buku memang tidak seperti membuat kue bolu, dapat sehari sekali jadi.
Sah-sah
saja penerbit itu berburu tenggat (deadline) karena momentum tertentu dan
mendesak editornya bekerja secepat mungkin. Hal ini biasa, tetapi penerbit
perlu melihat kompetensi editornya; apakah ia bisa bekerja cepat tanpa cacat
atau ia malah akan keteteran dan mengambil jalan pintas asal jadi. Memaksakan
editor pemula untuk bekerja layaknya editor terlatih adalah sebuah keputusan
fatal yang dapat melahirkan kesalahan fatal pula.
***
Catatan
pagi ini memang saya buat karena terganggu pikiran soal editor dan bagaimana
editor itu paling mudah disalahkan seperti kenyataan berikut: “Apabila ada buku
bagus dan sukses, penulislah yang dielu-elukan. Namun, apabila ada buku
mengandung kesalahan, editorlah yang dikeluhkan.”
Kita
memang tidak memerlukan sorak sorai untuk hasil pekerjaan kita. Editor adalah
tokoh di belakang layar. Namun, jika Anda ke Frankfurt Book Fair dan menyebut
diri Anda seorang editor, para tuan rumah booth di sana akan memandang Anda
dengan penuh hormat–beberapa di antara mereka juga ada yang editor. Mereka tahu
ini adalah profesi yang tidak gampang dan penuh kehebatan untuk melakoninya.
Kita
tidak boleh membiarkan diri kita sebagai editor tergelincir ataupun membiarkan
para editor muda atau pemula itu tergelincir karena memang tidak tahu apa itu
editing sebenarnya. Cukuplah kasus-kasus buku pelajaran tak layak itu hanya
sampai pada kasus Graphia Buana dengan penghujatan juga kepada penulis dan
editornya. Editor di negeri ini haruslah dibina.
Saya
tidak ingin pula Iwan Fals mengubah lagu Temanku Punya Kawan sehingga syairnya
menjadi seperti ini: editor (tadinya sarjana) begini banyaklah di negeri ini
tiada bedanya dengan roti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar