Minggu, 29 Desember 2013

Editor-Editor yang “Tergelincir”



Oleh: Bambang Trim

(Penulis adalah praktisi perbukuan Indonesia. Pemilik usaha penerbitan dan perajin buku Trim Komunikata serta pendiri Akademi Literasi dan Penerbitan Indonesia (ALINEA) dan Writers Incubator (WritInc)).

16 Juli 2013

Tokoh Azzam di sinetron PPT edisi VII tampak gundah gulana. Pasalnya, buku yang dia terbitkan mengandung kesalahan fatal yaitu kesalahan penulisan khat Arab pada surah al-Fatihah. Hanya salah penempatan tanda dan mengubah makna secara drastis.

Azzam gundah apakah harus menarik seluruh buku-bukunya di toko buku yang sudah tersebar dan dicetak 10.000 eksemplar. Sebenarnya kegundahan tokoh Azzam ini yang bahkan didramatisasi dengan permintaan sang ibu agar segera menarik bukunya dan Azam masih berkilah, tampak lebay bagi saya. Ingin sekali saya masuk ke meeting-nya Azam dan timnya, tetapi jelas tidak bisa :).

Dalam kasus seperti ini, apalagi Quran, tidak ada kata lain keputusan yang diambil adalah menarik seluruh buku dan memperbaiki halaman yang salah dengan cara menghapus titik atau mencetak ulang halaman yang benar dan menyisipkannya. Kita memang tidak hidup seperti zaman dulu yang bisa menyisipkan secarik kertas bertuliskan ralat atau errata maka masalah akan selesai.


Jangankan Quran, bahkan teks-teks pada buku religi pun sangat sensitif jika berubah. Dalam kasus lain di MQS, saya pun pernah memerintahkan penarikan dan perubahan semua buku karena pada satu halaman ada judul yang salah. Itu bukunya Kang Abik dan pada salah satu tulisan ada judul Kalimat Pengusir Malaikat. Judul sebenarnya adalah Kalimat Pengusir Maksiat. Semua pasti setuju bahwa berbeda jauh makna malaikat dan maksiat dan mengapa pula malaikat harus diusir. Buku itu kalau tidak salah sudah dicetak 5.000 eksemplar dan akhirnya dibongkar ulang di percetakan.

Kesalahan konten semacam ini bisa disebabkan keteledoran editor atau keteledoran layouter dan juga terlewatnya penyelia (supervisor) untuk memeriksa hasil pekerjaan keduanya. Editor kadang bisa tergelincir karena sibuk memperhatikan hal kecil (teks), lupa pada hal besar yaitu judul bab sendiri. Kadang bisa terjadi sebuah kover berbeda antara judul kover dan judul di dalamnya. Ternyata judul di dalamnya sudah direvisi, tetapi editor lupa menginformasikannya kepada desainer kover.

***

Kita beralih ke kasus lain….

Berita tentang buku pelajaran berkonten porno dari Penerbit Graphia Buana jelas menyinggung-nyinggung editornya. Tentulah yang berprofesi sebagai editor buku juga ikut tersentil jika sesama orang yang seprofesi ada yang tergelincir.

Editor banyak tergelincir biasanya karena kasus kelemahan dan kegagalan editing pada poin ketelitian data dan fakta serta poin  legalitas dan kesopanan. Kita ketahui bahwa fokus editing itu ada tujuh: 1) keterbacaan dan kejelasan; 2) konsistensi; 3) tata bahasa; 4) kejelasan gaya bahasa; 5) ketelitian data dan fakta; 6) legalitas dan kesopanan; 7) rincian produksi. Poin nomor 5 dan 6-lah yang sensitif jika mengandung kesalahan dibandingkan poin lain seperti bahasa atau konsistensi.

Belum lama terjadi juga ada kasus konten tidak layak tentang Nabi Muhammad saw di buku 5 Kota Paling Berpengaruh karya Douglas Wilson terbitan Gramedia. Gramedia tidak mau ambil risiko dan membakar semua sisa stok dan buku yang ditarik. Buku itu tak hendak diterbitkan ulang. Editor nya pun terkena sanksi dan konon memang baru dua bulan menjadi editor.

Lebih jauh ke belakang, saya juga pernah mengalami hal serupa ketika menjadi manajer penerbitan. Salah seorang editor saya di penerbit buku pelajaran tergelincir karena kesalahan konten data dan fakta atau lebih tepatnya salah dalam rumus hitungan. Buku pelajaran matematika untuk SD justru mengandung kesalahan hitung dan sangat berakibat fatal jika beredar di pasar. Alhasil, buku tersebut harus ditarik dari pasar setelah dicetak 10.000 eksemplar dan diperbaiki ulang. Tentulah ada hitungan kerugian untuk ini.

Mengapa Bisa Tergelincir

Pertanyaannya mengapa editor bisa tergelincir? Banyak faktor yang ditengarai bisa menjadi penyebabnya. Ada faktor kelelahan juga manakala penerbit tidak memperhatikan pekerjaan yang dibebankan kepada editor dan tenggat (deadline) yang ditetapkan. Bukan rahasia lagi jika di sebuah penerbit buku pelajaran yang hanya memiliki editor minim, para editor itu diberi tugas mengedit 2-3 judul buku untuk dikerjakan secara simultan. Di satu sisi kemampuan mereka sangatlah minim untuk melakukan 2-3 pekerjaan sekaligus.

Dari informasi saya ketahui bahwa editor buku bermasalah dari Graphia Buana itu juga mengedit buku PPKn, IPA, dan Matematika untuk SD. Bayangkan, super sekali editor yang melakukan hal ini sendirian dengan berbagai objek editing yang berbeda dari bahasa ke sosial dan dari sosial ke sains. Apakah dia memang sempat mengedit dengan sebenar-benar mengedit?

Kedua, bisa juga faktor nonteknis yang sepengalaman saya juga dapat ditemukan pada editor yang bekerja. Contohnya, bentrok dengan teman sekantor, impitan ekonomi, menyambi pekerjaan lain di luar kantor. Hal ini kadang mengganggu konsentrasi si editor dan bisa berakibat fatal pada hasil editing. Karena itu, dalam banyak kasus, saya memberlakukan editing silang untuk menjaga kualitas editing dan para kabag editor (managing editor) harus melakukan lagi pemeriksaan hasil pekerjaan editor di bawahnya.

Dalam sebuah organisasi penerbit buku pelajaran jelas harus dipisah antara editor buku sains, editor buku sosial, dan editor buku bahasa. Pemisahan objek editing berdasarkan latar belakang ilmu yang mereka miliki ini juga penting untuk meminimalkan kesalahan. Jangan samakan editor dengan guru SD yang bisa mengajar pelajaran apa pun.

Selain soal memahami kompetensi editor berdasarkan latar belakang ilmu masing-masing, tentulah penerbit juga perlu memperhatikan faktor nonteknis, seperti memberikan editor kesempatan untuk beristirahat, memperhatikan kesehatan mereka, mengadakan suplemen makanan untuk editor yang bekerja lembur, mengadakan dialog (personal touch) ketika melihat ada editor yang kurang berkonsentrasi, serta juga meningkatkan kesejahteraannya.

Jangan anggap sepele persoalan toilet atau kamar mandi di ruangan editorial. Jika toilet cuma satu dan para editor itu harus mengantre, itu mengganggu konsentrasi. Demikian pula jika mereka harus bekerja lembur, tetapi tidak tersedia sarana buat mandi yang menyenangkan. Alamat editor akan makin stress dan kuyu sepulang dari kantornya.

Kurang Pelatihan dan Kurang Paham

Editor itu bukan profesi sekonyong-konyong yang bisa dikerjakan seseorang asalkan punya ijazah sarjana, apalagi S1 atau S2 dalam suatu bidang. Editing adalah sebuah ilmu sekaligus seni bagaimana menyajikan sebuah tulisan/naskah menjadi nyaman dibaca sekaligus aman buat pembaca sasarannya. Dalam hal ini tentulah diperlukan pendidikan bagi seorang editor pemula di bidang publishing science dan editologi. Hal lain bahkan editor itu pun semestinya bisa menulis buku.

Saya melihat keremehan memandang hal ini bagi penerbit sering berbuah celaka, salah satunya adalah kasus buku pelajaran berkonten tidak tepat yang berkali-kali terjadi. Profesi editor sepertinya rentan mendapatkan celaan karena sebenarnya editor tersebut belumlah layak disebut editor. Namun, para penerbit memaksakan mereka bisa menjadi editor tanpa latar belakang wawasan editorial sedikit pun.

Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tahun 2013 ini mulai menggencarkan pelatihan untuk para editor. Namun, tingkat partisipasi penerbit anggotanya masihlah kecil untuk mau mengirimkan editornya berlatih dan mendapatkan ilmu editing yang standar. Namun, pada setiap musyarawah kerja sering didengungkan pentingnya pendidikan untuk para editor, tetapi giliran pendidikan dan pelatihan itu sudah ada dan para penerbit memang harus berinvestasi untuk itu, kebanyakan enggan melakukannya.

Tentulah lebih mending jika di dalam suatu penerbit terdapat editor senior sehingga ia bisa mengadakan pelatihan internal di penerbitnya untuk para editor pemula. Namun, kebanyakan penerbit memang tidak memiliki sistem pendidikan dan pelatihan seperti ini untuk editornya. Editor-editor yang direkrut dibiarkan berkembang begitu saja tanpa perlu dibina.

Dahulu di Penerbit Grafindo saya kerap mengisi forum pelatihan bernama OBSESI 2000, singkatan dari Obrolan Sekitar Editorial dengan Visi 2000. Di sini kami membina para editor yang baru masuk untuk memahami dunia penerbitan buku dan editing itu sendiri. Grafindo dulu memang mengelola sumberdaya editor yang besar hingga 50 orang yang jumlahnya selalu sama dengan layouter. Satu editor dipasangkan dengan satu layouter dan pada masa tertentu dilakukan rolling antara editor dan layouter itu.

Kelayakan Siapa yang Disebut Editor

Selain mendorong segera diberlakukannya UU Perbukuan Nasional, kita juga perlu memikirkan standar kompetensi sehingga seseorang layak disebut editor dan bagaimana penerbit memahami profesi ini dalam pengaturan pekerjaannya. Membuat buku memang tidak seperti membuat kue bolu, dapat sehari sekali jadi.

Sah-sah saja penerbit itu berburu tenggat (deadline) karena momentum tertentu dan mendesak editornya bekerja secepat mungkin. Hal ini biasa, tetapi penerbit perlu melihat kompetensi editornya; apakah ia bisa bekerja cepat tanpa cacat atau ia malah akan keteteran dan mengambil jalan pintas asal jadi. Memaksakan editor pemula untuk bekerja layaknya editor terlatih adalah sebuah keputusan fatal yang dapat melahirkan kesalahan fatal pula.

***

Catatan pagi ini memang saya buat karena terganggu pikiran soal editor dan bagaimana editor itu paling mudah disalahkan seperti kenyataan berikut: “Apabila ada buku bagus dan sukses, penulislah yang dielu-elukan. Namun, apabila ada buku mengandung kesalahan, editorlah yang dikeluhkan.”

Kita memang tidak memerlukan sorak sorai untuk hasil pekerjaan kita. Editor adalah tokoh di belakang layar. Namun, jika Anda ke Frankfurt Book Fair dan menyebut diri Anda seorang editor, para tuan rumah booth di sana akan memandang Anda dengan penuh hormat–beberapa di antara mereka juga ada yang editor. Mereka tahu ini adalah profesi yang tidak gampang dan penuh kehebatan untuk melakoninya.

Kita tidak boleh membiarkan diri kita sebagai editor tergelincir ataupun membiarkan para editor muda atau pemula itu tergelincir karena memang tidak tahu apa itu editing sebenarnya. Cukuplah kasus-kasus buku pelajaran tak layak itu hanya sampai pada kasus Graphia Buana dengan penghujatan juga kepada penulis dan editornya. Editor di negeri ini haruslah dibina.

Saya tidak ingin pula Iwan Fals mengubah lagu Temanku Punya Kawan sehingga syairnya menjadi seperti ini: editor (tadinya sarjana) begini banyaklah di negeri ini tiada bedanya dengan roti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar