Minggu, 29 Desember 2013

Mengompori Orang untuk Mengedit



21 Oktober 2013

Editing naskah, ilmu plus keterampilan yang jarang dilatihkan di negeri ini, termasuk kurang mendapat perhatian dalam kurikulum pendidikan kita dari SD hingga perguruan tinggi. Editing itu kerap disempitkan pada persoalan bahasa, padahal editing memandang sebuah teks secara lengkap dari banyak sisi.

Kemarin saya berhasil menarik minat sembilan orang untuk mengikuti Kursus Intensif Menyunting Naskah (KIMN) Angkatan I bersama TrimKom 19-20 Oktober. Mereka umumnya sudah pernah menulis buku dan akan menulis buku serta punya minat untuk mampu mengedit tulisan.

Jujur bahwa ilmu editing ini memang sesuatu yang “sepi” dipublikasikan sekaligus diajarkan. Anda boleh googling dengan kata kunci pelatihan editing, topik ini masih sangat jarang diselenggarakan di Indonesia–jauh jika dibandingkan topik menulis sendiri.

Saya memang tidak henti menyebarkan ilmu editing karena dasar ilmu itu yang saya peroleh dari bangku perguruan tinggi di Prodi D3 Editing Unpad hingga S1 Sastra Indonesia. Saya mengikuti program ekstensi Sastra Indonesia yang sebagian besar mata kuliahnya adalah tentang editing dan penerbitan (publishing science). Ada satu motivasi untuk menyebarkan ilmu ini di tengah banyak bias pemahaman orang tentang penulisan, penyuntingan, dan penerbitan.


Editing sendiri dapat dibagi atas tiga bagian besar berikut:

1.      copy editing yang diturunkan menjadi teknik mechanical editing dan on screen editing;
2.      substantive editing yang diturunkan menjadi structural editing, development editing, dan comprehensive editing;
3.      pictorial editing yaitu teknik editing gambar, ilustrasi, dan infografik.

Keterampilan copy editing termasuk keterampilan dasar untuk para editor yaitu bagaimana ia dapat menerapkan kaidah kebahasaan yang berlaku, konvensi penulisan dan penerbitan, serta gaya selingkung penerbitan. Selain itu, seorang editor juga diharapkan menguasai salah satu bidang spesifik serta memiliki wawasan pengetahuan umum yang luas.

Apakah seorang editor harus terampil juga menulis? Tentu hal ini merupakan persyaratan mutlak. Sangatlah tidak disarankan seseorang mengaku sebagai editor, sementara di satu sisi ia tidak pernah menghasilkan karya tulis yang dianggap layak.  Editor juga harus menjadi penulis itu sendiri. Editor pun juga harus menjadi pembaca itu sendiri untuk membangun empati sebagai pembaca sasaran sebuah karya tulis. Lakon-lakon ini untuk membantu editor mengembangkan intuisinya terhadap teks dan menciptakan “mata ketiga” atau “indra keenam”.

Berminat jadi editor? Mau saya kompori? Tunggu saja kegiatan selanjutnya bersama TrimKom. [BT]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar