21
Oktober 2013
Editing
naskah, ilmu plus keterampilan yang jarang dilatihkan di negeri ini, termasuk
kurang mendapat perhatian dalam kurikulum pendidikan kita dari SD hingga
perguruan tinggi. Editing itu kerap disempitkan pada persoalan bahasa, padahal
editing memandang sebuah teks secara lengkap dari banyak sisi.
Kemarin
saya berhasil menarik minat sembilan orang untuk mengikuti Kursus Intensif
Menyunting Naskah (KIMN) Angkatan I bersama TrimKom 19-20 Oktober. Mereka
umumnya sudah pernah menulis buku dan akan menulis buku serta punya minat untuk
mampu mengedit tulisan.
Jujur
bahwa ilmu editing ini memang sesuatu yang “sepi” dipublikasikan sekaligus
diajarkan. Anda boleh googling dengan kata kunci pelatihan editing, topik ini
masih sangat jarang diselenggarakan di Indonesia–jauh jika dibandingkan topik
menulis sendiri.
Saya
memang tidak henti menyebarkan ilmu editing karena dasar ilmu itu yang saya
peroleh dari bangku perguruan tinggi di Prodi D3 Editing Unpad hingga S1 Sastra
Indonesia. Saya mengikuti program ekstensi Sastra Indonesia yang sebagian besar
mata kuliahnya adalah tentang editing dan penerbitan (publishing science). Ada
satu motivasi untuk menyebarkan ilmu ini di tengah banyak bias pemahaman orang
tentang penulisan, penyuntingan, dan penerbitan.
Editing
sendiri dapat dibagi atas tiga bagian besar berikut:
1.
copy editing yang diturunkan
menjadi teknik mechanical editing dan on screen editing;
2.
substantive editing yang diturunkan
menjadi structural editing, development editing, dan comprehensive editing;
3.
pictorial editing yaitu teknik
editing gambar, ilustrasi, dan infografik.
Keterampilan
copy editing termasuk keterampilan dasar untuk para editor yaitu bagaimana ia
dapat menerapkan kaidah kebahasaan yang berlaku, konvensi penulisan dan
penerbitan, serta gaya selingkung penerbitan. Selain itu, seorang editor juga
diharapkan menguasai salah satu bidang spesifik serta memiliki wawasan
pengetahuan umum yang luas.
Apakah
seorang editor harus terampil juga menulis? Tentu hal ini merupakan persyaratan
mutlak. Sangatlah tidak disarankan seseorang mengaku sebagai editor, sementara
di satu sisi ia tidak pernah menghasilkan karya tulis yang dianggap layak. Editor juga harus menjadi penulis itu
sendiri. Editor pun juga harus menjadi pembaca itu sendiri untuk membangun
empati sebagai pembaca sasaran sebuah karya tulis. Lakon-lakon ini untuk
membantu editor mengembangkan intuisinya terhadap teks dan menciptakan “mata
ketiga” atau “indra keenam”.
Berminat
jadi editor? Mau saya kompori? Tunggu saja kegiatan selanjutnya bersama
TrimKom. [BT]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar