Oleh:
Romeltea
26
Desember 2013
Penyalinan
dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain– alias “alih
huruf” dari kata/bahasa Arab ke kata/bahasa Indonesia sering menjadi masalah.
Kata amin, misalnya, banyak tidak sepakat kalau ditulis amin, tapi –kata
mereka– seharusnya aamiin.
Saya
sudah membahas tentang cara penulisan amin itu di posting Cara Penulisan Amin
yang Benar.
Rupanya,
ada yang tidak bisa membedakan antara “bahasa tulisan” dan “bahasa lisan/bahasa
tutur” atau tidak peduli ada dikotomi bahasa tulisan dan bahasa lisan.
Hari
ini saya menemukan “kontroversi baru” soal transliterasi Arab-Indonesia, yaitu
soal penulisan kata “Insya Allah”. Katanya, yang benar itu “Inshaa Allah”,
bukan “Insya Allah”. Katanya, “Insya Allah” itu bermaksud “menciptakan Allah”
(na’udzubillah) dan “Inshaa Allah”-lah yang bermaksud “jika Allah menghendaki”.
Mari
kita bedah. Tulisan asli bahas Arabnya إن شاء الله
Ada
tiga kata: in (jika), syaa-a (menghendaki), Allaahu (Allah) = Jika Allah
menghendaki.
Dalam
transliterasi bahasa Indonesia, huruf “sya” (sin besar atau huruf sin dengan
tiga titik di atasnya) itu jadi “sy“, seperti insya Allah, khusyu’, syaithan,
syirik, dll.
Yang
berpendapat penulisannya “Inshaa Allah” itu dalam bahasa Inggris yang mengubah
“sya” jadi “sh”. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, “sh” itu untuk huruf “shad“,
seperti shalat, Ashar, shaum, shiddiq, dll.
Tinggal
pilih, menuliskan aslinya dalam bahasa Arab (إن شاء الله), dalam bahasa Indonesia (Isya Allah),
atau dalam bahasa Inggris (Inshaa Allah) –sebagaimana judul lagu Insha Allah by
Maher Zain.
Jika
dalam bahasa Inggris, juga masih keliru jika cuma menulis “Inshaa Allah”,
seharusnya “Inshaa Allaah” atau kalau dalam bahasa tutur (Indonesia): Insyaa
Awlooh. “Syaa” dan “Looh” itu dibaca panjang, sekian “harakat” kalau dalam ilmu
tajwid. ‘Tul ‘gak? Wallahu a’lam. (www.romeltea.com).*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar