Selasa, 31 Desember 2013

Kekacauan Bahasa Buku



Oleh Bambang Trim (Praktisi Perbukuan, menjadi editor buku sejak 1995)

3 Juni 2013

Makin lama, makin banyak kekacauan bahasa yang dapat kita temukan di dalam buku-buku. Ke mana gerangan para editor buku? Justru itu yang mengherankan karena terang-terangan buku tersebut mencantumkan juga nama editor pada halaman hak cipta buku tersebut. Namun, ternyata bahasa buku masihlah kacau, tidak pula baik dan tidak pula benar.

E. Zaenal Arifin dan Farid Hadi dalam bukunya yang praktis, 1001 Kesalahan Berbahasa Indonesia menyebutkan perbedaan antara bahasa yang baik dan bahasa yang benar. Bahasa Indonesia yang baik ialah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku, seperti dalam situasi akrab obrolan di warung kopi, pasar, atau tempat arisan.

Tentulah dalam sebuah dialog di warung kopi ketika kita menulis cerpen tidak dapat menggunakan bahasa seperti ini.

Fuad : “Siapa pemilik rumah gedung itu?”

Andi : “Ada apa gerangan kau bertanya seperti itu?”

Fuad : “Sebenarnya aku hanya ingin tahu saja. Aku sangat tertarik dengan arsitektur rumah itu….”

Andi : “Mengapa tidak kau tanyakan saja langsung kepada si pemilik rumah. Siapa tahu ia bersedia menerimamu dan berkenalan.”


Ya, bahasa dalam dialog tersebut agak kaku sebagai bahasa obrolan. Banyak penulis terkadang terjebak menuliskan dialog semisal itu di dalam karya fiksi.

Bagaimana dengan bahasa yang benar? Bahasa Indonesia yang benar ialah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan aturan atau kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa Indonesia itu meliputi kaidah pembentukan kata, penyusunan kalimat, penyusunan paragraf, dan penataan penalaran. Jadi, sebuah bahasa tulis di dalam buku dinyatakan benar jika menerapkan kaidah bahasa Indonesia yang standar.

Dalam buku nonfiksi, tentulah kaidah ini harus dijunjung tinggi. Pak Jus Badudu pernah memberikan pendapat bahwa penerapan kaidah bahasa yang benar bukan berarti membuat kaku sebuah tulisan. Karena itu, memang tidak ada alasan bahwa bahasa buku yang baik dan benar akan terkesan kaku dan harus diabaikan.

Perhatikan contoh berikut.

Waktu pun terus berlalu, dan pada pertengahan 2000, di sebuah ruang Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Karyadi, Semarang, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan seorang pasien wanita tua  yang terkulai lemas tak berdaya karena penyakit akutnya.

Pertanyaannya: Siapa yang dikejutkan oleh kedatangan pasien wanita tua itu? Dalam hal ini terdapat kelemahan penalaran bahasa.

Perhatikan contoh lain.

Pada bab hasil dan pembahasan ini lebih mengutamakan penjelasan hasil data dan informasi yang telah dipilih, kemudian menganalisisnya secara sistematis, terperinci dan kritis sesuai dengan kerangka pemikiran penulis dengan menggunakan metoda analisis yang telah ditentukan sebelumnya, dan selanjutnya menginterpretasikannya.

Kalimat kedua yang bercetak miring tersebut selain rancu, juga terlalu panjang untuk memenuhi syarat keterbacaan sebuah kalimat. Berdasarkan hasil sebuah riset yang dilakukan American Press Institute tentang kalimat, kalimat dengan kata sebanyak 17 adalah yang paling standar dapat dipahami. Lebih dari 17 kata dalam satu kalimat semakin membuat pembacanya tidak memahami.

Kalimat tersebut dapat diedit seperti ini.

Bab hasil dan pembahasan ini lebih mengutamakan penjelasan hasil data serta informasi yang telah dipilih. Data dan informasi terpilih itu dianalisis secara sistematis, terperinci, serta kritis sesuai dengan kerangka pemikiran penulis dengan menggunakan metode analisis yang telah telah ditetapkan sebelumnya. Penulis lalu dapat menginterpretasikannya.

Kalimat tersebut dipecah menjadi tiga kalimat dalam satu paragraf. Ada kata-kata yang dihilangkan, diganti, dan juga sebaliknya ditambahkan. Pada contoh pertama satu kalimat terdiri atas 39 kata, sedangkan contoh kedua tiga kalimat terdiri atas 44 kata. Lebih banyak menggunakan kata, tetapi lebih efektif dalam memberikan pemahaman kepada pembaca dalam satu paragraf.

Editor dalam hal ini kedudukannya memang harus melakukan total editing. Ia tidak hanya mengedit kata nonbaku menjadi kata baku, tetapi juga mengedit bentukan kata, struktur kalimat, serta nalar di dalam kalimat. Terkadang ia pun harus turut memperhatikan aspek-aspek substantif, seperti legalitas, kesopanan, dan juga data/fakta dalam tulisan. Namun, bahasa  tidak boleh diabaikan sebagai pengantar makna yang membuat pembaca paham maksud penulis.

Mau contoh lain? Perhatikan yang berikut ini.

Ikan hidup di suatu wilayah tertentu, misalnya apakah di daerah tropis atau subtropis, bahkan di daerah dingin. Secara alami ikan terdapat di alam sesuai tempat ia hidup, misalnya ikan-ikan dari suku cichlidae terdapat di Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Afrika. Tidak ada yang hidup di Asean. Tetapi, terdapat juga ikan yang diintroduksi dan berkembang pesat di hampir semua negara, misalnya ikan mujair, nila, dan ikan mas. Ikan mas yang berasal dari daerah Cina dan daerah sekitar Asia Tengah sekarang telah berkembang di hampir semua negara termasuk Indonesia.

Dapatkah Anda melihat beberapa kesalahan di dalam paragraf tersebut? Kalimat di dalam paragraf tersebut dapat diedit seperti ini.

Ikan hidup di suatu wilayah tertentu, apakah di daerah tropis atau subtropis, bahkan di daerah dingin. Secara alami ikan terdapat di alam sesuai dengan tempat hidupnya, misalnya ikan-ikan dari suku Cichlidae terdapat di Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan Afrika. Jenis ikan tersebut tidak ditemukan di daerah Asia Tenggara. Namun, dapat pula beberapa jenis ikan diintroduksi dan berkembang pesat di hampir semua negara, contohnya ikan mujair, ikan nila, dan ikan mas. Ikan mas yang berasal dari Cina dan daerah sekitar Asia Tengah sekarang telah berkembang di hampir semua negara, termasuk Indonesia.

Dalam pandangan saya terjadinya kekacauan berbahasa dalam buku disebabkan banyak editor yang memang lemah menguasai penggunaan bahasa Indonesia, tetapi dianggap kuat dalam melakukan editing isi (konten) sesuai dengan latar belakang pendidikan atau bidang keahliannya. Karena itu, sempat mengemuka juga rencana melakukan sertifikasi editor Indonesia dengan mengacu pada standar kompetensi tertentu, terutama dalam berbahasa.

Ayo, editor buku Indonesia kembali membuka-buka buku tentang penerapan bahasa Indonesia dalam penulisan atau mengakses informasi dari Badan Bahasa. Tentu perlulah bagi kita mengambil waktu sejenak untuk mempelajari kembali bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama bahasa Indonesia baku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar