Selasa, 31 Desember 2013

Tujuh Kiat Editor Meningkatkan Profesionalitasnya



Oleh: Bambang Trim (Komporis Buku Indonesia)

23 November 2012

Tanggal 21 November 2012, di Ruang Anggrek, Indonesia Book Fair 2012 meski kalah hangat dengan panggung utama yang menghadirkan Menteri BUMN Dahlan Iskan, tetap saja dipenuhi para editor berjumlah 45 orang. Sore itu pukul 15.30,  Seminar Profesionalitas Editor pun dimulai dengan menghadirkan R. Masri Sareb Putra dan Bambang Trim. Di sela-sela acara sempat diselingi informasi tentang ekosistem digital yang disampaikan Bapak Achmad Sugiarto, Executive GM Divisi Multimedia PT Telkom.

Masri Sareb yang dulu pernah melakoni karier sebagai manajer promosi di Grasindo (Grup Gramedia) dan managing editor Penerbit Indeks memaparkan pengalaman-pengalamannya sebagai editor, sekaligus juga sebagai penulis. Ia pun mengungkapkan perbandingan karier editor di negara yang lebih maju serta juga penghasilan para editor yang dianggap wah untuk ukuran Indonesia.

Sungguh eksistensi editor buku di Indonesia memang sudah diakui, tetapi dari sisi kompensasi untuk profesi ini masihlah tergolong rendah. Sebagai perbandingan, Malaysia memberikan kompensasi sekitar 2.000 ringgit untuk para editor yang fresh graduate. Di Filipina, editor bahkan diisi mereka yang berpendidikan master ataupun doktor dan tentunya juga dengan penghargaan kompensasi yang tinggi.

“Jika sebuah buku dianggap bagus, penulislah yang paling pertama dielu-elukan. Jika sebuah buku dianggap buruk, editorlah yang paling pertama dikeluhkan.”

Memahami Substantive Editing



Oleh: Bambang Trim

25 April 2013

Untuk kali pertama Maret 2013 lalu saya mengisi kursus khusus materi Substantive Editing dan Rewriting bersama rekan saya, Deddi Alfiandri Alison. Sebenarnya substantive editing adalah materi spesifik yang ditujukan untuk para editor dengan jam terbang lebih dari 3 tahun atau merupakan tahapan editing tingkat lanjut.

Pada kenyataannya dalam aktivitas editorial penerbitan, editor tidak hanya menghadapi persoalan-persoalan teknis memperbaiki naskah agar sesuai dengan kaidah kebahasaan dan gaya selingkunga penerbitan. Di luar masalah itu ada hal-hal lain yang lebih kompleks menyangkut content, context, dan sentimen (meminjam istilah yang digunakan Mas Deddi di dalam modulnya. Soal yang terakhir, “sentimen” adalah soal-soal khas yang terkadang harus dihadapi para editor dengan keputusan editorial, baik itu sentimen positif maupun sentimen negatif).

Substantive editing sebenarnya terdiri atas tiga bagian dengan sebutan dan sektor editorial yang berbeda, yaitu structural editing, developmental editing, dan comprehensive editing. Di dalamnya terdapat keputusan-keputusan editorial strategis sehingga pelaku dari substantive editing ini kerap dilakoni (dalam struktur jabatan) para managing editor, senior editor, bahkan chief editor.

Structural Editing. Editing jenis ini dilakukan pada saat-saat awal naskah diterima penerbit. Editor dapat menyarankan atau melakukan perubahan outline penulisan kepada penulis, termasuk sudut pandang dan gaya penulisan. Editor mengambil keputusan pengubahan didasarkan pada kepentingan pembaca sasaran, kepentingan pasar, ataupun menjaga reputasi penerbit. Editor yang memberi keputusan structural editing tentulah juga sudah sangat paham tentang berbagai teknik penulisan serta mengetahui tren penulisan terkini.

Mendadak (Jadi) Editor



Oleh: Bambang Trim

9 Mei 2013

Untuk kali kesekian saya melatihkan keterampilan editing bagi para editor yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintah, khususnya pusdiklat. Pekerjaan editing memang menjadi bagian dari tugas untuk mengelola sebuah pusdiklat karena di sana juga dihasilkan bahan-bahan terbitan, seperti modul, buku ajar, atau buku teks. Para widyaiswara yang menjadi tutor diwajibkan untuk menyusun modul pembelajaran.

Good-copy-editors

Event kemarin saya isi secara in-house untuk Pusdiklatwas BPKP di Hotel Salak Bogor. Ada delapan editor yang mengikuti sesi pelatihan selama 2 hari tersebut. Saya menyajikan materi mulai

    pengenalan bilik editorial;
    pengenalan profesi editor;
    pengenalan tugas dan fungsi seorang editor;
    penerapan EYD dan kaidah kebahasaan;
    penilaian naskah;
    penyuntingan naskah mekanik (mechanical editing);
    penyuntingan naskah dengan komputer (on-screen editing);
    penyuntingan naskah substantif (substantive editing);
    perhatian terhadap hak cipta dan plagiarisme.

Kekacauan Bahasa Buku



Oleh Bambang Trim (Praktisi Perbukuan, menjadi editor buku sejak 1995)

3 Juni 2013

Makin lama, makin banyak kekacauan bahasa yang dapat kita temukan di dalam buku-buku. Ke mana gerangan para editor buku? Justru itu yang mengherankan karena terang-terangan buku tersebut mencantumkan juga nama editor pada halaman hak cipta buku tersebut. Namun, ternyata bahasa buku masihlah kacau, tidak pula baik dan tidak pula benar.

E. Zaenal Arifin dan Farid Hadi dalam bukunya yang praktis, 1001 Kesalahan Berbahasa Indonesia menyebutkan perbedaan antara bahasa yang baik dan bahasa yang benar. Bahasa Indonesia yang baik ialah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku, seperti dalam situasi akrab obrolan di warung kopi, pasar, atau tempat arisan.

Tentulah dalam sebuah dialog di warung kopi ketika kita menulis cerpen tidak dapat menggunakan bahasa seperti ini.

Fuad : “Siapa pemilik rumah gedung itu?”

Andi : “Ada apa gerangan kau bertanya seperti itu?”

Fuad : “Sebenarnya aku hanya ingin tahu saja. Aku sangat tertarik dengan arsitektur rumah itu….”

Andi : “Mengapa tidak kau tanyakan saja langsung kepada si pemilik rumah. Siapa tahu ia bersedia menerimamu dan berkenalan.”

Senin, 30 Desember 2013

Kasus Saru Berulang pada Buku Pelajaran



Oleh: Bambang Trim

12 Juli 2013

Untuk kesekian kalinya dunia pendidikan kita didera buku bermasalah, terutama terkait muatan (konten) buku tersebut. Beberapa waktu lalu terjadi di Jawa Barat ketika sebuah buku berbahasa Sunda berjudul Ngeunah Keneh Inem dianggap mengandung konten pornografi dan tidak tepat pembaca sasaran. Sang penulis berkilah bahwa buku tersebut bukan ditujukan untuk siswa, melainkan untuk para guru. Alhasil, buku yang telah dinyatakan lolos sebagai buku muatan lokal yang layak digunakan oleh para siswa dengan SK Gubernur Jabar itu mencuatkan pertanyaan tentang mekanisme penilaian buku itu sendiri.

Selanjutnya, yang terbaru adalah kasus buku pelajaran berjudul Aku Senang Belajar Bahasa Indonesia, untuk SD MI kelas 6 terbitan Graphia Buana. Nama penulis jelas tercantum, termasuk nama editornya. Buku ini memuat sebuah cerpen yang mengandung konten dewasa pada halaman 57-60 dari cerita “Anak Gembala dan Induk Serigala”. Tampaknya kisah di dalamnya hasil copypaste dari cerpen dewasa karya orang lain yang tidak berhubungan dengan judul. Entah ini disengaja atau keteledoran semata. Sumber: http://metro.news.viva.co.id/news

Belajar dari banyak kasus serupa seperti kasus istilah “istri simpanan” dalam buku mulok untuk DKI Jakarta yang termuat dalam cerita Bang Maman dari Kalipasir terdapat pengabaian faktor kesopanan atau asas kepatutan dalam penggarapan sebuah buku pendidikan (edukasi) untuk pembaca sasaran tertentu. Pelanggaran ini dapat terjadi karena keteledoran beberapa pihak yang terlibat dalam sebuah proses penerbitan buku: penulis, editor, penataletak/desainer, dan juga termasuk penilai buku. Pelanggaran utama adalah pengabaian terhadap ketepatan sebuah muatan/konten terhadap pembaca sasaran yang dituju.

Minggu, 29 Desember 2013

Editor-Editor yang “Tergelincir”



Oleh: Bambang Trim

(Penulis adalah praktisi perbukuan Indonesia. Pemilik usaha penerbitan dan perajin buku Trim Komunikata serta pendiri Akademi Literasi dan Penerbitan Indonesia (ALINEA) dan Writers Incubator (WritInc)).

16 Juli 2013

Tokoh Azzam di sinetron PPT edisi VII tampak gundah gulana. Pasalnya, buku yang dia terbitkan mengandung kesalahan fatal yaitu kesalahan penulisan khat Arab pada surah al-Fatihah. Hanya salah penempatan tanda dan mengubah makna secara drastis.

Azzam gundah apakah harus menarik seluruh buku-bukunya di toko buku yang sudah tersebar dan dicetak 10.000 eksemplar. Sebenarnya kegundahan tokoh Azzam ini yang bahkan didramatisasi dengan permintaan sang ibu agar segera menarik bukunya dan Azam masih berkilah, tampak lebay bagi saya. Ingin sekali saya masuk ke meeting-nya Azam dan timnya, tetapi jelas tidak bisa :).

Dalam kasus seperti ini, apalagi Quran, tidak ada kata lain keputusan yang diambil adalah menarik seluruh buku dan memperbaiki halaman yang salah dengan cara menghapus titik atau mencetak ulang halaman yang benar dan menyisipkannya. Kita memang tidak hidup seperti zaman dulu yang bisa menyisipkan secarik kertas bertuliskan ralat atau errata maka masalah akan selesai.

Editor Intuitif, Editor Nge-Blink



Oleh: Bambang Trim

3 Agustus 2013

Benarkah editor juga bekerja dengan intuisi? Intuisi dalam KBBI diartikan daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati. Jadi, memang ada editor yang bekerja mengandalkan daya seperti ini atau dalam istilah Malcolm Gladwell disebut BLINK.

Desakan tenggat yang ketat memang terkadang memaksa editor harus meningkatkan kecepatan pengeditannya–termasuk kecepatan mengambil keputusan. Kecepatan dan ketepatan tentulah tumbuh dari kebiasaan dan perlatihan yang terus-menerus. Contoh paling gamblang, ada editor dalam sekali baca dapat langsung menemukan kata-kata yang tidak baku atau kalimat yang rancu. Hal itu tentu memperlihatkan tingkat keterampilan yang sudah di atas rata-rata.

Sepengalaman saya sebagai editor sejak 1995 memang menegaskan bahwa daya intuisi akhirnya timbul, bahkan cenderung diperlukan untuk memudahkan tugas editor alih-alih mempercepat pekerjaannya. Daya itu berangsur-angsur memang menguat seiring dengan berbagai tugas yang dibebankan kepada editor dan ia belajar dari multitugas tersebut. Karena itu, seorang editor sudah dapat disebut sebagai editor madya atau mendapatkan sebutan penuh sebagai editor apabila ia telah memiliki “jam terbang” antara 3 s.d. 5 tahun dalam bidang editing.

Ketika editor dituntut untuk mengerjakan multitugas, sebenarnya ia tengah melatihkan dan menajamkan beberapa intuisi. Berikut intuisi yang digunakan dalam tugas editorial.

Mengompori Orang untuk Mengedit



21 Oktober 2013

Editing naskah, ilmu plus keterampilan yang jarang dilatihkan di negeri ini, termasuk kurang mendapat perhatian dalam kurikulum pendidikan kita dari SD hingga perguruan tinggi. Editing itu kerap disempitkan pada persoalan bahasa, padahal editing memandang sebuah teks secara lengkap dari banyak sisi.

Kemarin saya berhasil menarik minat sembilan orang untuk mengikuti Kursus Intensif Menyunting Naskah (KIMN) Angkatan I bersama TrimKom 19-20 Oktober. Mereka umumnya sudah pernah menulis buku dan akan menulis buku serta punya minat untuk mampu mengedit tulisan.

Jujur bahwa ilmu editing ini memang sesuatu yang “sepi” dipublikasikan sekaligus diajarkan. Anda boleh googling dengan kata kunci pelatihan editing, topik ini masih sangat jarang diselenggarakan di Indonesia–jauh jika dibandingkan topik menulis sendiri.

Saya memang tidak henti menyebarkan ilmu editing karena dasar ilmu itu yang saya peroleh dari bangku perguruan tinggi di Prodi D3 Editing Unpad hingga S1 Sastra Indonesia. Saya mengikuti program ekstensi Sastra Indonesia yang sebagian besar mata kuliahnya adalah tentang editing dan penerbitan (publishing science). Ada satu motivasi untuk menyebarkan ilmu ini di tengah banyak bias pemahaman orang tentang penulisan, penyuntingan, dan penerbitan.

Kosakata Gaul dari Waktu ke Waktu



Salah satu hal yang membuat remaja memiliki bahasa sendiri adalah karena mereka membuat identifikasi komunal agar berbeda dengan kalangan yang lebih tua. Remaja juga mengikuti tren agar diterima di kelompoknya. Dan karena kehidupan sosial bergerak dinamis, gaya hidup remaja termasuk pemakaian bahasa mereka pun selalu berganti.

Inilah kosakata-kosakata yang sempat atau masih populer yang digunakan di kalangan anak muda/remaja/atau yang berjiwa muda. Berikut saya jabarkan.

Era 80 – 90-an
Era Prokem

Asal: Kosakata gaul ini diambil dari bahasa preman, yang saat itu diciptakan sebagai ‘alat kecoh’ terhadap aparat kepolisian. Jadi, mereka membuat bahasa sendiri yang hanya mereka mengerti. Pernah familiar dengan kata ‘okem’? Itu adalah kata lain dari preman/prokem. Dan kemudian, bahasa okem ini pun digunakan para remaja tahun 80-an. Berikut saya jabarkan kata-kata yang muncul pada saat itu. Dan beberapanya masih populer digunakan saat ini.

Pengaruh: Film-film anak muda ’seri’ seperti Catatan si Boy, Warkop DKI, atau novel Lupus dan Olga Sepatu Roda. Komik-komik Tatang S. ‘Si Petruk’ juga berpengaruh pada merebaknya kosakata-kosakata nonbaku ini.

Kosakata:

Bokin = bini, pacar
Bokep = blue film
Doku = duit
Mokat = mati
Sedokur = saudara
Bo’il = mobil
Bokap = bapak
Nyokap = ibu
Doi = dia
Doski = dia
Cimeng = ganja
Bokis = bohong
Kece = cakep
Nyimeng = mengganja
Pembokat = pembantu
Sepokat = sepatu
Gokil = gila
Boke = miskin
Kere = miskin
Boker = buang air besar
Toket = payudara
Tokai = kotoran/tahi
Nih, yee = Nih
Bonek = bondo nekat atau suporter anarkis
Ajojing = dansa

Sabtu, 28 Desember 2013

Belum Tibakah Saatnya?



Belum tibakah saatnya bagi orang-orang beriman, untuk khusyu' hati mengingat Allah dan kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang telah diturunkan al Kitab kepadanya, kemudian (mereka mengabaikannya) dalam masa yang panjang, lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasiq. (Al-Hadid: 16).

Ayat yang menggunakan gaya bahasa pertanyaan retoris ini pasti menggetarkan hati orang beriman. Tidak heran kalau ayat pendek ini telah mengubah jalan hidup seorang Al-Fudhail bin Iyadh. Ketika telah berada di atas rumah besar yang akan dirampoknya, dari dalam rumah dia mendengar bacaan Al-Qur'an yang secara kebetulan adalah ayat 16 surat al-Hadid di atas, Mendengar ayat itu hatinya bergetar dan seluruh persendiannya serasa lumpuh. Serta merta dia berucap "Benar ya Rabb, telah tiba saatnya hatiku tunduk khusyu' mengingat-Mu, sudah terlalu lama aku melupakan-Mu, maka mulai hari ini aku tidak akan melakukan apapun yang tidak Engkau sukai". Hari itu menjadi titik balik kehidupan Ibnu Iyadh dari gembong perampok menjadi alim sufi yang 'arif billah.

Latar belakang turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan perubahan kehidupan para sahabat Rasulullah SAW, terutama kaum muhajirin di Madinah. Kaum Muhajirin asli Mekkah yang pada dasarnya ahli bisnis, belum lama tinggal di Madinah sudah berhasil membangun ekonomi mereka melebihi penduduk Madinah yang habitatnya agraris. Kemakmuran dan kekayaan menjadikan sebagian mereka mulai lupa kepada Allah. Maka turunlah teguran Allah kepada mereka. Nabi menyebut penyakit yang menimpa sebagian sahabatnya itu dengan wahan, yaitu penyakit hubbud dunya (cinta dunia). Bila dibandingkan dengan keadaan umat Islam pada masa Nabi SAW, pasti penyakit cinta dunia yang menimpa umat Islam di masa sekarang jelas lebih parah, bahkan berlipat-lipat. Oleh karena itu, kitalah yang seharusnya lebih memerlukan teguran dari Allah melalui ayat tersebut.

Ternyata “Ekstrapuding” dari “Extra Voeding” Toh



Oleh: Gustaaf Kusno (A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker!)

19 Desember 2013

Sebagai dokter yang bergelut sehari-hari di rumah sakit, istilah extra voeding sudah sangat familiar di telinga saya. Istilah yang menyerap dari bahasa Belanda ini bermakna makanan tambahan bagi pasien yang kurang berat badan, pasien yang membutuhkan nutrisi tambahan misalnya pada penderita yang baru mengalami operasi dan juga bagi pasien yang tidak mempunyai selera makan (poor appetite). Sesuai dengan namanya extra voeding (extra = tambahan, voeding = pemberian makanan), bentuknya adalah makanan ringan namun bergizi tinggi, misalnya susu, yogurt, kacang hijau, kue, dan roti.

Namun terus terang saya mendapat surprise tatkala pagi ini membaca koran tentang anggaran kesehatan napi yang dikurangi dan tersua kata “ekstrapuding”. Kata “ekstrapuding” ini diberi penjelasan dalam tanda kurung “makanan tambahan untuk meningkatkan daya tahan tubuh selama bulan puasa/Ramadhan”. Nampaknya dalam setiap ranah kehidupan sehari-hari, kita selalu bersua dengan istilah Belanda. Dan ciri khas kata serapan ini biasanya huruf “f” atau “v” bersalin rupa menjadi “p”. Di ranah transportasi istilah verboden (dilarang masuk) menjadi “perboden”, di ranah kesehatan verband (pembalut) menjadi “perban”, dalam ranah busana istilah vermaken (mengubah ukuran baju) menjadi “permak”, di ranah jual beli istilah voorschot (uang muka) menjadi “persekot”, di ranah otomotif istilah versnelling menjadi “persneling”, di ranah industri fabriek menjadi “pabrik” dan failliet menjadi “pailit”.

Mengkritik Payudara



Oleh: Agus Sopian (Mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia Program Pascasarjana Kajian Wilayah Jepang Universitas Indonesia Long-term Fellowship The Japan Foundation)

23 Desember 2013

Mulai hari ini dan seterusnya, saya akan menyukai buah dada. Lho? Maaf, maksudnya saya lebih suka mengatakan “buah dada”, “tetek”, ataupun “toket” daripada mengatakan “payudara”. Ini ilmiah lho. Bagi saya kata “buah dada” lebih manusiawi daripada “payudara”. Apa pasal?

Dalam beberapa macam bahasa (boleh jadi sebagian besar), aurat perempuan tersebut hanya berarti “dada” ataupun “susu”. Misalnya dalam bahasa Mandarin dan Jepang disebut “乳房”, atau dalam bahasa Inggris “breast”, bahasa Perancis “seins”. Secara etimologis, kata payudara yang merujuk pada bagian tubuh wanita yang paling menarik itu terbentuk dari dua buah kata: “payu” dan “dara”. Dalam bahasa Jawa – juga bahasa Sunda, kata “payu” memiliki arti “laku (dijual)”, sedangkan kata “dara” merujuk pada arti gadis, atau perempuan. Jadi dengan begitu payudara memiliki arti bahwa seorang gadis itu yang laku atau laris adalah buah dadanya. Atau buah dadanya membuat gadis atau perempuan menjadi laku. Boleh jadi yang dimaksud adalah menarik perhatian. Akan tetapi, tidak ada sama sekali makna yang menyatakan menarik perhatian di dalam kata “payu”. Kalau mau artinya menarik, ya menarik saja. Tidak perlu episode selanjutnya yang akhirnya menggunakan kata seperti terjadi makna jual-beli. Sebagai pemerhati bahasa, sungguh saya tidak tega menggunakan kata tersebut. Saya bergidik ketika mengingat artinya. “Laku”. Seperti barang yang diperjual-belikan, seperti ada transaksi di sana. Ampun!

Reportase: Maiyahan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng di Karawang



Ditulis Oleh: Red/KC

Minggu 15 Desember 2013, selepas dari Kenduri Cinta malam sebelumnya, Cak Nun bersama KiaiKanjeng sudah berada di Lapangan Karang Pawitan Karawang. Maiyahan kali ini dihadiri oleh masyarakat beserta Bupati Karawang, Bapak Ade Swara, dan jajaran Muspida. Berlangsung dari pukul 20.00 sampai hampir tengah malam, Maiyahan Karawang meriah dihiasi nomor-nomor Kiaikanjeng yang merangkum kearifan Sunda bersama suku-suku lain dalam rangka kebersamaan Indonesia.

Karakter Manuk Dadali dan lagu-lagu Sunda lainnya memiliki kemiripan dengan musik Jepang dan Rusia. Bahwa konstelasi dunia ini tidak seperti yang kita pikir sekarang. Dulu manusia menyebar sampai ke benua-benua yang berlainan semuanya berasal dari Tanah Sunda – meskipun pada saat itu Sunda dan Jawa belum mengalami metamorfosis, di mana metamorfosis itu menjadi ekstrim setelah Gajahmada menyerbu rombongan Prabu Siliwangi sampai terjadi Perang Bubat.

Selain Manuk Dadali, dibawakan pula nomor Shalawat Badar versi Sunda, Gundul Pacul, Dunya La Tarham, Renungkanlah, Lir-Ilir. Dari shalawat Dunya La Tarham kita diajari untuk tidak mencintai dunia. Cukup letakkan dunia di genggaman tangan, jangan masukkan ke pikiran dan hati.

Lagu Renungkanlah dipilih supaya kita mampu lebih menghargai khasanah lagu-lagu Melayu lama yang telah sejak lama kita tinggalkan. Kita lebih suka dangdut, dan lama-lama dangdut membunuh dirinya sendiri. Musik tidak lagi penting, apalagi pemain musiknya, karena yang utama adalah goyangannya. Hal yang sama terjadi juga pada musik pop dan pada dimensi lain yang lebih luas.

Kamis, 26 Desember 2013

Penulisan Kata Insya Allah yang Benar



Oleh: Romeltea

26 Desember 2013

Penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain– alias “alih huruf” dari kata/bahasa Arab ke kata/bahasa Indonesia sering menjadi masalah. Kata amin, misalnya, banyak tidak sepakat kalau ditulis amin, tapi –kata mereka– seharusnya aamiin.

Saya sudah membahas tentang cara penulisan amin itu di posting Cara Penulisan Amin yang Benar.

Rupanya, ada yang tidak bisa membedakan antara “bahasa tulisan” dan “bahasa lisan/bahasa tutur” atau tidak peduli ada dikotomi bahasa tulisan dan bahasa lisan.

Hari ini saya menemukan “kontroversi baru” soal transliterasi Arab-Indonesia, yaitu soal penulisan kata “Insya Allah”. Katanya, yang benar itu “Inshaa Allah”, bukan “Insya Allah”. Katanya, “Insya Allah” itu bermaksud “menciptakan Allah” (na’udzubillah) dan “Inshaa Allah”-lah yang bermaksud “jika Allah menghendaki”.

Mari kita bedah. Tulisan asli bahas Arabnya إن شاء الله

Ada tiga kata: in (jika), syaa-a (menghendaki), Allaahu (Allah) = Jika Allah menghendaki.

Web Content Editor: Karier Baru Era Internet



Oleh: Romeltea (Praktisi Media. Tinggal di Bandung. Please visit: www.romeltea.com)

21 Mei 2012

Saat ini sejumlah perusahaan membutuhkan atau membuka lowongan kerja untuk posisi Content Editor, sebuah posisi yang relatif baru muncul seiring kemajuan teknologi internet.

Hampir semua perusahaan, instansi, atau organisasi memiliki website. Kelemahannya memang dari sisi konten (isi), mulai dari jarang update hingga tulisan yang tidak berkualitas.

Itulah sebabnya, pimpinan atau manajemen perusahan, instansi, atau organisasi yang “melek media online”, sadar betapa penting media online dikelola secara profesional di era digital dan era multimedia ini, memberikan perhatian besar terhadap konten websitenya.

Setidaknya, informasi yang dimuat di websitenya bisa menjadi “counter opini” terhadap pemberitaan miring yang menimpa instansinya. Ada kasus,  link-link informasi tentang sebuah perusahaan di Google hampir semuanya berisi berita miring tentang perusahaan itu. Nyaris tidak ada data “netral”, apalagi “baik”, dan ternyata… perusahaan besar tersebut tidak punya website!

Rabu, 25 Desember 2013

Koreksi untuk Diksi Resolusi



Oleh: Adian Saputra (Manusia biasa yang terus belajar untuk menjadi lebih baik lagi)

23 Desember 2013

Satu kata yang cukup akrab berseliweran menjelang pergantian tahun ini ialah “resolusi”. Hampir setiap bertemu dengan kawan, karib, jiran, dan sejawat, hampir selalu itu yang ditanyakan. “Apa resolusimu untuk 2014?”.

Sejak tahun lalu, saya kepengin benar menulis soal ini. Tapi entah mengapa selalu tertahan. Mungkin hanya kemalasan, hahaha. Buat saya, diksi resolusi untuk konteks impian pribadi sebetulnya kurang tepat. Tapi karena ini dilazimkan terus-menerus oleh media massa dan kita para penutur, jadilah lema “resolusi” ini menjadi tren tersendiri. Yuk kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Resolusi bermakna putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang); pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal.

Mari kita dedah secara saksama. Kalau kita menganggap resolusi itu sebagai impian pribadi, sebetulnya tidak tepat. Sebab, resolusi mensyaratkan adanya sikap bersama yang diputuskan dalam musyawarah. Kalau impian kita pada tahun depan berasal dari ide, gagasan, argumentasi, dan impian kita sendiri, lema yang pas mungkin bukan resolusi. Sebab, resolusi mensyaratkan adanya musyawarah atau putusan bersama. Kita ingat, kalau sedang menonton televisi atau membaca berita soal Resolusi Dewan Keamanan PBB, nah konteksnya pas. Resolusi Dewan Keamanan PBB memang diambil dalam musyawarah dan menjadi putusan bersama. Meski ada hal veto dari Dewan Keamanan, resolusi sungguh pas dipakai dalam putusan bersama itu.

Republik Ceko, Republik Czech, atau Republik Ceska?



Oleh: Tarmizi Bustamam

(Anggota alumni IKESMA Payakumbuh dan IKANED/Ikatan Alumni Nederland. Bekerja sebagai Insurance Loss Adjuster)

14 Desember 2013

Di berbagai media di Indonesia sering ditulis Republik Czech untuk nama Republik Ceko dan ada juga menamakannya Republik Ceska. Begitulah semenjak bubarnya Republik Cekoslowakia pada tanggal 1 Januari 1993 berbagai media di Indonesia menjadi bingung mengenai nama yang tepat dari Republik Ceko. Ada yang memakai nama Republik Czech , karena menelan mentah-mentah istilah bahasa Inggris “Czech Republic”. Sedangkan mereka tidak memahami kandungan arti sesungguhnya dari istilah bahasa Inggris Czech Republic dan lebih parah lagi, ada yang melafalkannya menjadi Republik Cec. Ada pula yang menamakannya Republik Ceska, meniru orang Ceko menamakan negara mereka ”Česká Republika”, namun kelompok ini juga sama sekali tidak paham apa yang dimaksud ”Česká´dalam bahasa Ceko tersebut.

Adjektiva

Czech dalam bahasa Inggris atau Česká dalam bahasa Ceko adalah adjektiva (kata sifat), sesuatu yang berhubungannya dengan Ceko. Czech dalam bahasa Inggris selain sebagai adjektiva, juga berarti orang Ceko. Ejaan Czech sendiri diadopsi oleh Inggris dari bahasa Polandia, “Czech” yang ucapannya adalah “cekh”, namun orang Inggris tidak bisa melafalkan konsonan “kh”, oleh sebab itu lafal Inggrisnya adalah “cek”.

Yang Benar “Mengubah” atau “Merubah”?



Oleh: Widodo Darmosuwarto (Mantan wartawan BY dan BB Jakarta 1965. Kini tinggal di Karanganyar Surakarta Jateng)

13 Desember 2013

Kali ini saya mau membahas dua kata mengubah dan merubah. Menurut kaidah bahasa Indonesia yang benar, yang mana yang benar, mengubah atau merubah?

Untuk mudahnya, mari kita mulai dengan kata dasar yang dimulai dengan huruf-huruf a, i, u, e, o. Kata dasar yang dimulai dengan huruf a, misalnya: ambil, atur, awal, antisipasi.

Kata dasar yang dimulai dengan huruf i misalnya: injak, ikat.

Kata dasar yang dimulai dengan huruf u misalnya: ucap, utang, ubah.

Kata dasar yang dimulai dengan huruf e misalnya: eja, ekor

Kata dasar yang dimulai dengan huruf o misalnya: olah, ombak.

Sabtu, 21 Desember 2013

Pecinta Bahasa Indonesia: Penguatan Bahasa Indonesia

Pecinta Bahasa Indonesia: Penguatan Bahasa Indonesia

Penguatan Bahasa Indonesia

Oleh: R. Graal Taliawo

13 Desember 2013

“Posisi Indonesia di kancah global semakin penting. Di bidang ekonomi, Indonesia menempati 16 besar kekuatan ekonomi dunia dan masuk kelompok G-20. Pada 2030 nanti, diperkirakan Indonesia menempati tujuh besar dunia… peran besar ini hendaknya dibarengi peran dari sektor lain, seperti sosial, politik, dan budaya, termasuk di dalamnya bahasa Indonesia” (kompas.com, 28/10/2013).

Ini adalah pandangan pemerintah tentang posisi ekonomi Indonesia yang disampaikan pada Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta (28/10/2013). Kongres berlangsung 28-31 Oktober, dengan mengambil tema “Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional”. Kondisi ekonomi tersebut menurut Mendikbud Muh. Nuh, menuntut peran bahasa Indonesia.

Apa yang disampaikan Muh. Nuh itu adalah benar. Secara sederhana, kapasitas ekonomi yang baik akan menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan bagi pencari kerja asing; orang akan berbondong-bodong datang ke Indonesia untuk mengaduh nasib. Mereka pasti perlu kemampuan berbahasa Indonesia. Maka dibutuhkan penguatan tata bahasa dan fungsi bahasa Indonesia.

Ada dua hal yang secara pragmatis bisa membuat satu bahasa menjadi alat komunikasi lintas negara dan bangsa. Pertama, adalah terkait “ekonomis (nilai tukar) bahasa”. Kedua, adanya kepentingan terhadap ilmu pengetahuan dalam bahasa tersebut.

Dari Mana Lahir Kiasan “Setali Tiga Uang”?

Oleh: Gustaaf Kusno

12 Desember 2013

Kita semua tahu kiasan “Setali tiga uang” bermakna “sama saja” alias “tak ada bedanya”. Setali atau setalen adalah mata uang koin bernilai 25 sen di zaman dahulu. Lantas bagaimana penjelasannya, koin 25 sen ini disamakan dengan tiga uang? Uang apa yang dimaksudkan? Dulu saya pernah membayangkan bahwa tiga uang tersebut adalah dua koin ketip (bernilai 10 sen) + satu koin kelip (bernilai 5 sen). Ternyata bayangan saya ini sekalipun logis, bukanlah merupakan penjelasan cikal bakal kelahiran perumpamaan “setali tiga uang” tersebut.

Dahulu kala orang mengatakan “setalen tiga duit”. Duit adalah mata uang koin yang dikeluarkan oleh penjajah Belanda sejak zaman VOC pada tahun 1726. Bukan hanya negara Belanda saja yang memakai istilah duit ini, namun juga sejumlah negara mengadopsinya, seperti Jerman (deut), Inggris dan Skotlandia (doit). Nilai tukar ”duit” ini bervariasi dalam kurun waktu tertentu. Pernah satu duit ini setara dengan satu farthing (yang bernilai 25 sen). Namun pernah juga tiga duit (dalam bahasa Belanda: drie duiten) setara dengan satu farthing. Nampaknya dari kurs mata uang inilah kemudian lahir ungkapan ”setalen tiga duit” selanjutnya menjadi ”setali tiga uang” (karena istilah ”duit” akhirnya merujuk kepada ”uang”).

Majemuk, Idiom, dan Frasa: Konsep dan Perbedaannya



Oleh: Azhari Dasman Darnis

1. Pendahuluan

Penggabungan kata atau pemajemukan (compounding) merupakan salah satu proses pembentuk kata. Pembentukan kata itu merupakan proses yang produktif dalam hampir semua bahasa. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, terdapat bentuk kaki yang berarti anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan, (dari pangkal paha ke bawah) dan meja berarti perkakas (perabot) rumah yang mempunyai bidang datar sebagai daun mejanya dan berkaki sebagai penyangganya (KBBI, 2009).  Untuk mewadahi konsep bagian bawah meja, penopang, atau penyangga meja digunakan proses penggabungan kata kaki dengan meja menjadi kaki meja dengan analogi kaki manusia yang berarti bagian bawah meja.

Ada beberapa istilah untuk menyebut hasil penggabungan kata itu. Misalnya, Alisjahbana (1953) menggunakan istilah kata majemuk yang merujuk pada gabungan dua buah kata atau lebih yang memiliki makna baru. Definisi itu merupakan identitas idiom (lihat Katamba 1994: 291). Fokker (1951) menggunakan istilah kelompok kata yang dibedakan menjadi kelompok erat untuk menyebut idiom dan kelompok longgar untuk bukan majemuk. C.A. Mees (1957) menggunakan istilah kata majemuk dan aneksi. Istilah pertama untuk idiom dan terakhir untuk yang nonidiomatis. Kridalaksana (1989) menggunakan istilah paduan leksem atau kompositum. Sama dengan Alisjahbana, Alwi (1998) dan Moeliono menyebut penggabungan kata dengan majemuk.