Sabtu, 21 Desember 2013

Penguatan Bahasa Indonesia

Oleh: R. Graal Taliawo

13 Desember 2013

“Posisi Indonesia di kancah global semakin penting. Di bidang ekonomi, Indonesia menempati 16 besar kekuatan ekonomi dunia dan masuk kelompok G-20. Pada 2030 nanti, diperkirakan Indonesia menempati tujuh besar dunia… peran besar ini hendaknya dibarengi peran dari sektor lain, seperti sosial, politik, dan budaya, termasuk di dalamnya bahasa Indonesia” (kompas.com, 28/10/2013).

Ini adalah pandangan pemerintah tentang posisi ekonomi Indonesia yang disampaikan pada Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta (28/10/2013). Kongres berlangsung 28-31 Oktober, dengan mengambil tema “Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional”. Kondisi ekonomi tersebut menurut Mendikbud Muh. Nuh, menuntut peran bahasa Indonesia.

Apa yang disampaikan Muh. Nuh itu adalah benar. Secara sederhana, kapasitas ekonomi yang baik akan menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan bagi pencari kerja asing; orang akan berbondong-bodong datang ke Indonesia untuk mengaduh nasib. Mereka pasti perlu kemampuan berbahasa Indonesia. Maka dibutuhkan penguatan tata bahasa dan fungsi bahasa Indonesia.

Ada dua hal yang secara pragmatis bisa membuat satu bahasa menjadi alat komunikasi lintas negara dan bangsa. Pertama, adalah terkait “ekonomis (nilai tukar) bahasa”. Kedua, adanya kepentingan terhadap ilmu pengetahuan dalam bahasa tersebut.


Pertama, dari sisi ekonomi, bahasa (apapun itu) akan dianggap penting jikalau negara asal bahasa tersebut memiliki kapasitas ekonomi mumpuni sebagai tempat mencari kerja. Mereka yang butuh kerja di Indonesia membutuhkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Pada konteks itu, andai klaim pemerintah tentang kondisi ekonomi itu benar, maka dari sisi “nilai tukar bahasa”, mestinya bahasa Indonesia memiliki posisi tawar yang memadai.

Mengantisipasi hal itu, peran negara Indonesia sangatlah penting. Bahwa bahasa Indonesia bisa menjadi “tuan” di negeri sendiri kalau pemerintah membuat kebijakan yang mendukung peran penting bahasa Indonesia. Sebagai contoh, pemerintah bisa mewajibkan setiap pekerja yang datang ke Indonesia untuk berbahasa Indonesia; yang mau bekerja diharuskan memenuhi ukuran kemampuan berbahasa. Mereka yang berkepentingan pasti berupaya untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Kedua, terkait penggunaan bahasa pada konteks pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, banyak orang yang akhirnya harus menguasai bahasa asing tertentu karena memiliki kepentingan untuk studi di negara lain. Bagi mereka yang hendak mendalami ilmu pengetahuan di negara-negara benua Amerika atau Eropa, misalnya, diharuskan menguasai bahasa Inggris karena itulah bahasa dominan yang digunakan sebagai alat transfer ilmu pengetahuan.

Melihat fenomena itu, perlu dipikirkan kiranya bahwa penyebarluasan penggunaan bahasa Indonesia melalui pengembangan ilmu pengetahuan adalah penting dan strategis. Orang akan melihat perlu mendalami bahasa Indonesia kalau ilmu pengetahuan yang ditulis dan utamanya dikembangkan oleh ilmuwan asal (berbahasa) Indonesia dianggap memiliki kontribusi, sehingga perlu untuk dipelajari. Ilmuwan (warga) negara lain akan merasa perlu menguasai bahasa Indonesia—dengan alasan efisien—karena mereka memandang bahwa pengembangan ilmu pengetahuan di negeri ini menunjukan keunggulannya. Artinya, harus ada upaya dari anak bangsa ini untuk terus-menerus “memproduksi” ilmu pengetahuan oleh dan melalui bahasa Indonesia.

Akan tetapi, untuk hal ini kita masih harus bekerja keras. Faktanya hingga kini, Ilmuwan Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia masih dipenuhi oleh literatur (karangan) atau hasil penelitian ilmuwan negeri berbahasa Inggris. Dunia akademik kita masih mengantungkan diri pada literatur berbahasa asing. Referensi hasil produksi ilmuwan asing masih mendominasi ruang-ruang kuliah kita. Di sisi lain, produktivitas ilmuwan (berbahasa) Indonesia masih tergolong rendah dari segi kuantitaf, belum lagi bicara kualitas.

Menurut Pappiptek-LIPI, dalam kurun waktu 2001-2010, lembaga penelitian dan pengembangan Korea Selatan (KAIST) mampu menghasilkan jumlah publikasi internasional sebesar 20.183 publikasi. Lalu, diikuti lembaga JST Jepang (13.604) dan CSIRO Australia (11.611). LIPI (Indonesia) hanya memiliki 417 publikasi ilmiah. Jumlah itu bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Selama kurun waktu yang sama, total publikasi nasional dan internasional dari tiga negara tersebut di atas 30.000, sedangkan Indonesia hanya menghasilkan total publikasi 7.843 atau 25 persennya (kompas.com, 07/01/2013).

Padahal, penulisan beragam hasil penelitian—sebagai bentuk pengembangan ilmu pengetahuan—oleh ilmuwan (berbahasa) Indonesia, apalagi kemudian dipakai (dikutip) sebagai referensi pada penelitian-penelitian lanjutan, bisa menjadi sarana efektif untuk memperluas penggunaan bahasa Indonesia. Situasi ini menandakan bahwa penyebarluasan bahasa Indonesia melalui pengembangan ilmu pengetahuan masih sukar untuk diharapkan.

Meluasnnya pengguna bahasa tertentu sebagai alat komunikasi populer selalu didukung oleh adanya manfaat sebagai alasan untuk dipakai. Bahasa Indonesia akan populer kalau upaya penyebarluasannya diikuti oleh penciptaan situasi-situasi sebagai alasan orang non-Indonesia untuk mendalaminya. Negeri ini akan menjadi tempat yang menarik—dan pada akhirnya bahasanya—bagi orang asing jika dari sisi produktivitas dalam bidang ilmu pengetahuan (bagi mereka yang ingin studi) dan bidang ekonomi (bagi pencari kerja) memang menonjol. Tanpa kedua hal itu, nampaknya masih agak sukar untuk kita berharap bahwa bahasa Indonesia bisa terlihat penting dan perlu untuk dipelajari dan akhirnya dipakai sebagai alat komunikasi lintas negara dan bangsa.


Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2013/12/13/penguatan-bahasa-indonesia-616183.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter

Tidak ada komentar:

Posting Komentar