Oleh:
R. Graal Taliawo
13
Desember 2013
“Posisi
Indonesia di kancah global semakin penting. Di bidang ekonomi, Indonesia
menempati 16 besar kekuatan ekonomi dunia dan masuk kelompok G-20. Pada 2030
nanti, diperkirakan Indonesia menempati tujuh besar dunia… peran besar ini
hendaknya dibarengi peran dari sektor lain, seperti sosial, politik, dan
budaya, termasuk di dalamnya bahasa Indonesia” (kompas.com, 28/10/2013).
Ini
adalah pandangan pemerintah tentang posisi ekonomi Indonesia yang disampaikan pada
Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta (28/10/2013).
Kongres berlangsung 28-31 Oktober, dengan mengambil tema “Penguatan Bahasa
Indonesia di Dunia Internasional”. Kondisi ekonomi tersebut menurut Mendikbud
Muh. Nuh, menuntut peran bahasa Indonesia.
Apa
yang disampaikan Muh. Nuh itu adalah benar. Secara sederhana, kapasitas ekonomi
yang baik akan menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan bagi pencari kerja
asing; orang akan berbondong-bodong datang ke Indonesia untuk mengaduh nasib.
Mereka pasti perlu kemampuan berbahasa Indonesia. Maka dibutuhkan penguatan
tata bahasa dan fungsi bahasa Indonesia.
Ada
dua hal yang secara pragmatis bisa membuat satu bahasa menjadi alat komunikasi
lintas negara dan bangsa. Pertama, adalah terkait “ekonomis (nilai tukar)
bahasa”. Kedua, adanya kepentingan terhadap ilmu pengetahuan dalam bahasa
tersebut.
Pertama,
dari sisi ekonomi, bahasa (apapun itu) akan dianggap penting jikalau negara
asal bahasa tersebut memiliki kapasitas ekonomi mumpuni sebagai tempat mencari
kerja. Mereka yang butuh kerja di Indonesia membutuhkan bahasa Indonesia
sebagai alat komunikasi. Pada konteks itu, andai klaim pemerintah tentang
kondisi ekonomi itu benar, maka dari sisi “nilai tukar bahasa”, mestinya bahasa
Indonesia memiliki posisi tawar yang memadai.
Mengantisipasi
hal itu, peran negara Indonesia sangatlah penting. Bahwa bahasa Indonesia bisa
menjadi “tuan” di negeri sendiri kalau pemerintah membuat kebijakan yang
mendukung peran penting bahasa Indonesia. Sebagai contoh, pemerintah bisa
mewajibkan setiap pekerja yang datang ke Indonesia untuk berbahasa Indonesia;
yang mau bekerja diharuskan memenuhi ukuran kemampuan berbahasa. Mereka yang
berkepentingan pasti berupaya untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Kedua,
terkait penggunaan bahasa pada konteks pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai
contoh, banyak orang yang akhirnya harus menguasai bahasa asing tertentu karena
memiliki kepentingan untuk studi di negara lain. Bagi mereka yang hendak
mendalami ilmu pengetahuan di negara-negara benua Amerika atau Eropa, misalnya,
diharuskan menguasai bahasa Inggris karena itulah bahasa dominan yang digunakan
sebagai alat transfer ilmu pengetahuan.
Melihat
fenomena itu, perlu dipikirkan kiranya bahwa penyebarluasan penggunaan bahasa
Indonesia melalui pengembangan ilmu pengetahuan adalah penting dan strategis.
Orang akan melihat perlu mendalami bahasa Indonesia kalau ilmu pengetahuan yang
ditulis dan utamanya dikembangkan oleh ilmuwan asal (berbahasa) Indonesia
dianggap memiliki kontribusi, sehingga perlu untuk dipelajari. Ilmuwan (warga)
negara lain akan merasa perlu menguasai bahasa Indonesia—dengan alasan
efisien—karena mereka memandang bahwa pengembangan ilmu pengetahuan di negeri
ini menunjukan keunggulannya. Artinya, harus ada upaya dari anak bangsa ini
untuk terus-menerus “memproduksi” ilmu pengetahuan oleh dan melalui bahasa
Indonesia.
Akan
tetapi, untuk hal ini kita masih harus bekerja keras. Faktanya hingga kini,
Ilmuwan Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia masih dipenuhi oleh literatur
(karangan) atau hasil penelitian ilmuwan negeri berbahasa Inggris. Dunia
akademik kita masih mengantungkan diri pada literatur berbahasa asing.
Referensi hasil produksi ilmuwan asing masih mendominasi ruang-ruang kuliah
kita. Di sisi lain, produktivitas ilmuwan (berbahasa) Indonesia masih tergolong
rendah dari segi kuantitaf, belum lagi bicara kualitas.
Menurut
Pappiptek-LIPI, dalam kurun waktu 2001-2010, lembaga penelitian dan
pengembangan Korea Selatan (KAIST) mampu menghasilkan jumlah publikasi
internasional sebesar 20.183 publikasi. Lalu, diikuti lembaga JST Jepang
(13.604) dan CSIRO Australia (11.611). LIPI (Indonesia) hanya memiliki 417
publikasi ilmiah. Jumlah itu bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan
negara ASEAN lain, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Selama kurun
waktu yang sama, total publikasi nasional dan internasional dari tiga negara
tersebut di atas 30.000, sedangkan Indonesia hanya menghasilkan total publikasi
7.843 atau 25 persennya (kompas.com, 07/01/2013).
Padahal,
penulisan beragam hasil penelitian—sebagai bentuk pengembangan ilmu
pengetahuan—oleh ilmuwan (berbahasa) Indonesia, apalagi kemudian dipakai
(dikutip) sebagai referensi pada penelitian-penelitian lanjutan, bisa menjadi
sarana efektif untuk memperluas penggunaan bahasa Indonesia. Situasi ini
menandakan bahwa penyebarluasan bahasa Indonesia melalui pengembangan ilmu
pengetahuan masih sukar untuk diharapkan.
Meluasnnya
pengguna bahasa tertentu sebagai alat komunikasi populer selalu didukung oleh
adanya manfaat sebagai alasan untuk dipakai. Bahasa Indonesia akan populer
kalau upaya penyebarluasannya diikuti oleh penciptaan situasi-situasi sebagai
alasan orang non-Indonesia untuk mendalaminya. Negeri ini akan menjadi tempat
yang menarik—dan pada akhirnya bahasanya—bagi orang asing jika dari sisi
produktivitas dalam bidang ilmu pengetahuan (bagi mereka yang ingin studi) dan
bidang ekonomi (bagi pencari kerja) memang menonjol. Tanpa kedua hal itu,
nampaknya masih agak sukar untuk kita berharap bahwa bahasa Indonesia bisa
terlihat penting dan perlu untuk dipelajari dan akhirnya dipakai sebagai alat
komunikasi lintas negara dan bangsa.
Sumber:
http://edukasi.kompasiana.com/2013/12/13/penguatan-bahasa-indonesia-616183.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar