26
Maret 2012
Sebuah
buku hebat itu kalau diselisik, terasa makin asyik, lalu menggelitik kita untuk
mengiyakan, bahkan mendebatnya. Editor adalah ‘makhluk’ yang kerap bekerja
menelisik naskah. Alih-alih menelisik naskah, kadang ia pun menelisik sang
penulis–meski hanya beberapa kejadian editor akhirnya menikah dengan sang
penulis :).
Jika
ditelisik, penulis itu ada dalam karakter 3 L. Pertama, penulis lemah yang
memasrahkan naskahnya sedemikian rupa pada editor, bahkan kerap mengiba-iba
agar naskahnya benar-benar terbit. Kedua, penulis liat yang punya kekerasan
kepala seperti granit. Tidak mau diedit dan tidak gampang pula didebat dengan
segudang argumen. Naskahnya ibarat menara gading yang tidak boleh ditata lagi.
Ketiga, penulis luwes sebagai penulis favorit para editor karena bersahaja,
cerdas, dan mau menerima setiap masukan.
Dalam
sepengalaman saya menjadi editor sejak 1995, saya berhadapan dengan tiga tipe
penulis tersebut. Namun, yang paling sering memang menghadapi penulis lemah.
Kalau bertemu penulis liat, tinggal kita ajak makan dan ngobrol soal hobinya
tanpa menampakkan keeditoran kita, beres. Nah, justru yang lemah ini malas
untuk diselisik, sama sekali kurang asyik, dan tentu tak menggelitik.
Penulis
buku memang harus unjuk gigih, bukan harus unjuk gigi. Gigih bukan berarti
memelas atau malah melambungkan naskahnya setinggi langit, lalu dengan mudah
terbanting di tempat sampah para editor. Editor pun bukanlah makhluk setengah
dewa dengan senjata mustika gunting sakti mandraguna. Tidak ada alasan editor
harus mempermak naskah sedemikian rupa jika penulis sudah gigih membuat
naskahnya apik, apalagi dengan kemampuan swasunting (self-editing).
Jadi,
… ya itu saja. Saya merasa harus banyak menelisik, yang asyik-asyik (bergaya
Ayu Tingting), dan mencari yang bisa menggelitik.
Sumber:
http://manistebu.wordpress.com/category/penerbitan-buku/penyuntingan-naskah-editing/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar