Rabu, 01 Januari 2014

Selisik-Asyik-Menggelitik



26 Maret 2012

Sebuah buku hebat itu kalau diselisik, terasa makin asyik, lalu menggelitik kita untuk mengiyakan, bahkan mendebatnya. Editor adalah ‘makhluk’ yang kerap bekerja menelisik naskah. Alih-alih menelisik naskah, kadang ia pun menelisik sang penulis–meski hanya beberapa kejadian editor akhirnya menikah dengan sang penulis :).

Jika ditelisik, penulis itu ada dalam karakter 3 L. Pertama, penulis lemah yang memasrahkan naskahnya sedemikian rupa pada editor, bahkan kerap mengiba-iba agar naskahnya benar-benar terbit. Kedua, penulis liat yang punya kekerasan kepala seperti granit. Tidak mau diedit dan tidak gampang pula didebat dengan segudang argumen. Naskahnya ibarat menara gading yang tidak boleh ditata lagi. Ketiga, penulis luwes sebagai penulis favorit para editor karena bersahaja, cerdas, dan mau menerima setiap masukan.

Dalam sepengalaman saya menjadi editor sejak 1995, saya berhadapan dengan tiga tipe penulis tersebut. Namun, yang paling sering memang menghadapi penulis lemah. Kalau bertemu penulis liat, tinggal kita ajak makan dan ngobrol soal hobinya tanpa menampakkan keeditoran kita, beres. Nah, justru yang lemah ini malas untuk diselisik, sama sekali kurang asyik, dan tentu tak menggelitik.


Penulis buku memang harus unjuk gigih, bukan harus unjuk gigi. Gigih bukan berarti memelas atau malah melambungkan naskahnya setinggi langit, lalu dengan mudah terbanting di tempat sampah para editor. Editor pun bukanlah makhluk setengah dewa dengan senjata mustika gunting sakti mandraguna. Tidak ada alasan editor harus mempermak naskah sedemikian rupa jika penulis sudah gigih membuat naskahnya apik, apalagi dengan kemampuan swasunting (self-editing).

Jadi, … ya itu saja. Saya merasa harus banyak menelisik, yang asyik-asyik (bergaya Ayu Tingting), dan mencari yang bisa menggelitik.

Sumber: http://manistebu.wordpress.com/category/penerbitan-buku/penyuntingan-naskah-editing/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar