Oleh: Maman Suherman (@maman1965)
Kepada para pelajar dan mahasiswa yang
(masih) berminat menjadi jurnalis, saya selalu menyemangatinya, dengan kalimat,
''Profesi jurnalis itu profesi yang mulia, karena menjalankan tugas kenabian,
sebagai pembawa dan penyampai kabar.'' Tetapi di sisi lain, saya juga ingatkan,
''Profesi jurnalis tak lagi 'seindah' di era saya menjadi jurnalis.''
Berkat profesi jurnalis, hampir seluruh
propinsi pernah saya jelajahi. Dikirim meliput ke berbagai daerah, menginap di
rumah penduduk hingga di hotel termahal di daerah tersebut, dan mengantongi
uang DLK (Dinas Luar Kota) yang telah ditetapkan. Paspor saya sudah berganti
entah berapa kali, karena perpanjangan dan karena halaman demi halamannya sudah
penuh oleh 'cap' dan 'tempelan' penanda (izin) masuk ke sebuah negara.
Berulangkali saya menjalankan ibadah haji dengan status ''Haji Abidin'' (Atas
Biaya Dinas) dan ''Haji Abubakar'' (Atas Budi Baik Kantor), plus mendapatkan
uang saku DLN (Dinas Luar Negeri) yang tidak kecil jumlahnya, dan mengikuti
nilai mata uang di negara tujuan. Hobi melanglangbuana dan menulis, dibiayai
oleh perusahaan, apa tidak enak? Nikmat mana lagi yang tidak pernah saya
rasakan?
Sekarang? Murid/mahasiswa yang pernah
saya didik, kerap berkeluh kesah, ''Sekarang susah, Pak. Media tempat kerja
saya berjaringan. Hampir di seluruh Indonesia ada wartawan atau korespondennya.
Atas nama efisiensi 'biaya', kami nggak dikirim lagi ke daerah, cukup menugaskan
koresponden yang ada di sana.'' Tak cuma ke luar kota, demikian pula halnya,
untuk peliputan di luar negeri. Sebaliknya, berita yang ditulis oleh jurnalis
saat ini, tak lagi cuma dimuat di satu media. Tetapi bisa di belasan, bahkan
mungkin puluhan media lokal, yang ''berjaringan'' dengan media di ibukota,
tempat di mana mahasiswa saya yang telah menjadi jurnalis itu bekerja.
Dulu, ketika bertugas ke satu tempat,
saya kerap bertemu dengan belasan jurnalis yang bekerja di kelompok media,
tempat saya bekerja. Media kami berbeda satu sama lain, tetapi masih dalam satu
payung perusahaan yang sama. Sekarang, fenomena ini makin berkurang. Atas nama
''era konvergensi'' yang ''membawa sejumlah produk media menjadi satu kesatuan
dengan membawa semua keunggulan masing-masing'', jumlah wartawan di lapangan
menjadi ''makin berkurang''. Satu jurnalis turun lapangan, lalu mengirimkan
beritanya ke newsroom (redaksi) yang menghimpun (pool) berita dari jurnalis di
lapangan, yang kemudian ''memilah'' dan ''menentukan'' berita itu cocok
dimasukkan ke media mana, yang tergabung di dalam grup media tersebut.
Jadilah satu jurnalis bekerja untuk
lebih satu media. Satu jurnalis mengirim berita yang kemudian diolah di
newsroom dan muncul di media online, cetak, juga (dibacakan) di media audio dan
visual. Bisa jadi, termuat di tidak cuma satu media cetak tetapi berbagai media
cetak, termasuk jaringannya di daerah-daerah, di lebih dari satu radio dan satu
televisi yang juga sudah memiliki ''jaringan'' di daerah-daerah. Di lapangan,
mereka tak lagi mengaku berasal dari media mana, tetapi dari kelompok media
mana. Tak terkecuali para peliput acara infotainment.
Rekrutmen terhadap calon jurnalis pun
sudah berubah. Tidak untuk online, koran, radio atau TV semata, tapi untuk
multimedia. Ada yang sudah menyiapkan perangkat pelatihan kepada wartawannya
untuk memahami teknik reportase multimedia. Ada juga yang sama sekali tidak
menyiapkanya, dan berdalih, ''Kalian terjun ke lapangan, bekerja sekaligus
belajar.'' Tidak cuma pelatihannya yang tidak diberitakan, jurnalisnya pun
tidak dibekali pemahaman tentang etika jurnalisme. Bahkan, perusahaannya pun
sebenarnya bukan (semata) perusahaan media, tetapi ''media'' diselipkan sebagai
salah satu anak usahanya. Contoh sederhana: ingat, tidak semua yang bekerja di televisi
adalah jurnalis, dan tidak semua produk televisi adalah produk jurnalistik. Di
sini tugas jurnalis 'senior'' bertambah: mengajari jurnalis pemula yang
''ditempelkan'' kepadanya saat turun lapangan.
Yang membuat ''miris'' dan ''mengibakan'' adalah nasib para jurnalis
senior. Dulu, mereka nyaman bekerja ''hanya'' untuk satu media, memegang surat
perjanjian kerja untuk bekerja di hanya media ''A'', misalnya. Kini, harus ikut
terseret dalam arus konvergensi, arus multimedia, bekerja untuk banyak media.
Pilihannya, ''mau'' -- siap menyesuaikan diri dan belajar lagi -- atau
bersiap-siap untuk ditawarkan ''pensiun dini'' atau ''golden shake hand''. Di
kalangan mereka timbul istilah, ''Kartu kami banyak tapi ATMnya cuma satu.''
Maksudnya, bekerja untuk beragam media, tetapi gajinya tetap satu!
Di sinilah tantangan terberat seorang
(calon) jurnalis. Sejumlah pelajar dan mahasiswa saya mulai ragu-ragu untuk
tetap melangkah menjadi jurnalis. Tetapi, saya tetap tak putus asa
menyemangatinya. Di era konvergensi dan multimedia ini ada peluang baik yang
tetap terbuka lebar di dunia jurnalistik. Satu orang bisa menjadi jurnalis,
sekaligus menjadi redaktur, editor dan produser medianya. Kita bisa
melakukannya dari kamar tidur kita sendiri, dengan menjadi jurnalis yang
berbasis web/internet, yang mampu menjawab tantangan ''era continous deadline'
60 detik/menit - 60 menit/jam - 24 jam/ hari - 7 hari/minggu - ''Get the story
first''. Para blogger adalah contoh nyata ''do-it-yourself journalism', yang berhasil
menjawab tantangan perkembangan teknologi mengenai 'jurnalisme
antarperorangan', 'jurnalisme antarorang dan kelompok', menyediakan media
sebagai 'arena percakapan' di mana sang blogger bisa menarik reporter warga dan
editor warga ikut berkolaborasi, berbagi informasi di dalamnya. Bahkan, blogger
yang jauh lebih visioner, kemudian mengangkat dan menjalin kerjasama ''saling
menguntungkan'' dengan para reporter, atau editor yang kerap kita kenal sebagai
''jurnalis warga'' atau ''jurnalis akar rumput''. Prinsipnya sederhana, jika
seseorang tahu cari membuat konten, maka
ia bisa menjadi jurnalis, menyiarluaskannya melalui internet dan
terciptalah ''percakapan'' dunia di kolom ''komentar'' tanpa perlu bertatap
muka.
Artinya, siapa pun bisa menjadi jurnalis.
Persoalan apakah karyanya adalah karya jurnalistik, itu yang kerap
dipertanyakan banyak orang. Tetapi fakta bahwa media mainstream bahkan kerap
mengutip tulisan para blogger, mengutip ciapan orang di timeline twitter,
mengcopy-paste isi Kompasiana, adalah sebentuk ''pengakuan'' terhadap lahir dan
berkembangnya do-it-yourself journalism, terhadap eksistensi jurnalis warga dan
jurnalis akar rumput. Kalau tidak diakui, tak akan ada produk yang beriklan di
Kompasiana. Bahkan seorang Gita Wiryawan yang digadang-gadang menjadi wapres di
2014 pun beriklan di Kompasiana.
Pengiklan tentu punya pertimbangan
khusus mengapa makin lama makin melirik ''media baru'' ini. ''Kebosanan''
melihat media mainstream yang isinya 'itu-itu saja'', yang tak lagi netral dan
independen karena dipakai sebagai kendaraan politik partai tertentu, dan
kecepatannya yang tidak bisa mengalahkan ''new media'' menjadi sejumlah alasan
untuk melirik media baru ini. Apalagi di media baru ini tersedia arena
percakapan (places for conversation) di
mana satu media bisa langsung dikomentari oleh pembacanya di kolom komentar
yang disediakan di bawah tulisan itu, dilengkapi ''kolom'' berapa jumlah
pembacanya, dan berapa yang memberi ''tanda bintang'' karena menyukainya,
aktual, inspiratif, bermanfaat menarik dan lain sebagainya.
Kuncinya cuma satu: apa pun medianya,
prinsip jurnalistiknya sama. ''Get the story first'' harus dilengkapi dengan
''get it right''. Dan, jurnalistik adalah perkara kejujuran mengabarkan,
memisahkan antara fakta dan opini, serta menjalankan disiplin verifikasi!
''Hukum besi'' jurnalistik teramat
jelas. Dan, setiap orang bisa menjadi jurnalis!
Sumber:
http://m.kompasiana.com/post/read/623359/2
salam jurnalis. mari saling follow, saling share, dan saling bertukar pikiran. http://www.jurnalismuslimjc.blogspot.com/ #thanks
BalasHapus